Aspek
Konservasi menurut Konsep Pengembangan
Ekowisata Karst (Pada Obyek Wisata Air Terjun Sri Getuk di Kabupaten Gunungkidul)
Lebih
dari setengah wilayah Gunungkidul merupakan bentang alam karst dengan berbagai
keunikannya, maka sebagian besar usaha
pariwisata di Kabupaten Gunungkidul berbasiskan pada wisata alam karst. Menilik pada jumlah kunjungan wisatawan yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun maka pengembangan ekowisata karst akan
memiliki prospek yang bagus dan lebih kompetitif jika dibandingkan dengan jenis
wisata yang lain. Namun pengembangan
ekowisata tidaklah hanya untuk mengejar kepentingan ekonomi. Sebagaimana dikemukakan oleh Samodra (2005)
bahwa pada prinsipnya konsep kegiatan pengembangan ekowisata karst didasarkan
pada beberapa aspek, yang memungkinkan usaha itu dapat dilakukan secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.
Aspek tersebut antara lain adalah aspek konservasi, aspek pendidikan dan
aspek ekonomi.
Berkaitan
dengan aspek konservasi pada upaya pengembangan ekowisata karst di obyek wisata Air Terjun Sri Getuk terdapatpoint-point penting sebagai berikut:
1. Dalam
konsep pengembangan geopark Gunungsewu, terdapat 30 situs geologi (geosite) yang tersebar pada kawasan
karst yang ada di Kabupaten
Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan. Ke-30 situs tersebut merupakan bagian dari konsep
perlidungan, pendidikan dan pembangunan
berkelanjutan secara holistik. Di Kabupaten Gunungkidul terdapat 11 situs, satu
diantaranya yaitu air terjun Sri Getuk di Desa Bleberan yang merupakan bagian
dari geopark Gunungsewu yang dilindungi.
Hal ini sejalan dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang
Alam Karst, bahwa kawasan bentang alam karst memiliki komponen geologi yang
unik, sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaannya dalam
rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Menindaklanjuti
Permen ESDM tersebut, Pemerintah Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta
mengusulkan penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu di DIY. Kawasan obyek wisata air terjun Sri Getuk di
Desa Bleberan termasuk salah satu dalam usulan penetapan tersebut. Upaya perlindungan kawasan Gunungsewu yang
dikembangkan menjadi kawasan wisata tidak hanya pada aspek fisik namun juga
budaya masyarakat lokal yang bisa ditunjukkan kepada wisatawan.
2. Berkaitan dengan perlindungan terhadap kawasan yang dikembangan sebagai
obyek wisata tidak lepas dari pemanfaatan
lahan. Lahan yang dikembangkan menjadi
kawasan obyek wisata air terjun Sri Getuk
dan Goa Rancang Kencono merupakan tanah kas desa, tanah “Sultan Ground”
atau “SG”, dan tanah milik kehutanan. Perda
RTRW Kabupaten Gunungkidul 2010-2030 menyebutkan bahwa Air Terjun Sri Getuk
termasuk dalam areal hutan yang merupakan hutan negara. Hutan tersebut adalah
hutan tanaman produksi untuk jenis tanaman kayu jati dan kayu putih. Tanah milik kehutanan seluas sekitar 1.000 m2
yang telah dimanfaatkan untuk pengembangan, diantaranya dibangun kolam ikan dan
warung makan/kuliner. Namun tanah yang digunakan untuk pengembangan kawasan
wisata tersebut adalah tanah kosong yang dahulu digunakan sebagai tempat
penimbunan kayu (TPK). Kegiatan
pengembangan yang dilakukan tidak mengganggu atau bahkan mematikan fungsi hutan
sebagai pengendali dan penyeimbang sistem tata air, karena hanya memanfaatkan
tanah yang selama ini tidak dimanfaatkan oleh pihak kehutanan.
3. Tekanan
terhadap hutan negara berupa penebangan dan pejarahan kayu di wilayah Desa
Bleberan dulu pernah terjadi setelah meletus reformasi. Namun sekarang tidak pernah terjadi, setelah kawasan
air terjun dan goa dikembangkan menjadi obyek wisata. Bahkan pada akhir Tahun 2013 diadakan
kegiatan penanaman bibit pohon di daerah sekitar aliran sungai dan mata air
yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi DIY bersama petani penggarap
disekitar aliran mata air yang tergabung dalam kelompok HKM. Kegiatan konservasi ini merupakan upaya
penghijauan pada daerah tangkapan air, dimaksudkan agar debit air pada tiga
sumber mata air tidak surut/berkurang.
Program penghijauan ini tidak sekedar bernuansa fisik
dengan menanam bibit tanaman, namun juga ada unsur pelestarian budaya di
dalamnya. Progam penghijauan ini
menggunakan “dana keistimewaan” sehingga walaupun ini merupakan tupoksi Dinas
Perkebunan dan Kehutanan namun tetap bernuansa budaya. Bahkan dalam pelaksanaannya melibatkan peran
masyarakat lokal sebagai petani penggarap lahan milik kehutanan yang tergabung
dalam kelompok HKM.
Pendekatan
partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal dalam upaya konservasi yang
bernuansa budaya tidak hanya dibutuhkan selama proses konservasi, tetapi yang
lebih penting adalah pasca konservasi.
Pasca konservasi menitik beratkan pada peran masyarakat lokal yang lebih
besar sehingga mampu menjamin kontinuitas sebuah konservasi. Sebagaimana dikemukakan Steger dalam Soeroso
A. dan Susilo Y.S (2008) bahwa dalam proses globalisasi
berbagai budaya lokal lenyap ternafikan oleh kekuatan homogenisasi barat,
akibat gerakan partikularitas keberagaman budaya lokal berkembang ke dalam
konstelasi kultur yang baru.
Menjunjung
tinggi nilai kearifan lokal ditengah gelombang modernisasi dan identitas budaya
lokal yang semakin luntur tergerus jaman menjadi sumber kekuatan tersendiri
dalam menjaga kelestarian alam.
Diantara
bentuk pelestarian seni dan budaya yang dilakukan yaitu pengadaan gamelan jawa
dan wayang dengan menggunakan dana hibah Tahun 2013. Selain itu bentuk
kepedulian terhadap seni dan budaya dengan pemberian bantuan melalui dana
pengembangan potensi yang ditetapkan sebesar 20% dari Sisa Hasil Usaha. Dana ini dipergunakan untuk pemberian bantuan
kepada kelompok-kelompok usaha kecil dan kelompok seni budaya yang ada di Desa
Bleberan. Jenis seni budaya yang ada di
Desa Bleberan yaitu Kerawitan, Doger, Reog, Hadrah, dan Slawatan.
Kegiatan penggalian
atau pengerukan bukit yang selama ini dilakukan dalam rangka pengembangan obyek
wisata masih dalam batas wajar dan terkendali. Penggalian/pengerukan bukit yang
difungsikan sebagai lahan parkir seluas sekitar 15 x 50 m masih bisa ditolerir karena
tidak mengganggu fungsi lahan. Kegiatan
pengerukan kemudian akan diikuti dengan penanaman bibit tanaman buah untuk
mengatasi fungsi penyerapan air dan penanganan lahan kritis. Konsep penanganan lahan kritis dengan
penanaman kebun buah karena memiliki nilai ekonomi. Kebun buah pada lahan seluas 4 hektar ini
kedepan dikemas menjadi agrowisata guna
mendukung obyek wisata utama yaitu air terjun.
Kegiatan
penambangan yang dilakukan warga yaitu penambangan tradisional tanpa alat berat
pada lahan milik pribadi. Penambangan
yang berada disekitar kawasan obyek wisata air terjun dan goa masih dalam skala kecil
dengan kedalaman antara 1 sampai 1,5 m dengan luasan sekitar 10 m2.
Salah satu wujud terabaikannya konservasi terhadap
keunikan bentang alam karst, yaitu belum adanya perlindungan terhadap keamanan
goa karena area parkir berada tepat di atas ruangan goa bagian dalam. Walaupun struktur batuan yang membentuk
sistem pergoaan cukup kuat karena telah
teruji pada saat terjadi gempa pada Tahun 2006 yang melanda wilayah DIY. Gempa yang cukup dahsyat tersebut dengan
kekuatan 5,9 SR tidak menimbulkan runtuhan stalagtit ataupun retakan dinding
goa, namun dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kemungkinan amblesan bila diatasnya digunakan untuk parkir
kendaraan-kendaraan besar atau bus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar