Rabu, 05 Februari 2014

ASPEK KONSERVASI PADA EKOWISATA KARST



Aspek Konservasi menurut Konsep Pengembangan Ekowisata Karst (Pada Obyek Wisata Air Terjun Sri Getuk di Kabupaten Gunungkidul)
Lebih dari setengah wilayah Gunungkidul merupakan bentang alam karst dengan berbagai keunikannya,  maka sebagian besar usaha pariwisata di Kabupaten Gunungkidul berbasiskan pada wisata alam karst.  Menilik pada jumlah kunjungan wisatawan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun maka pengembangan ekowisata karst akan memiliki prospek yang bagus dan lebih kompetitif jika dibandingkan dengan jenis wisata yang lain.  Namun pengembangan ekowisata tidaklah hanya untuk mengejar kepentingan ekonomi.  Sebagaimana dikemukakan oleh Samodra (2005) bahwa pada prinsipnya konsep kegiatan pengembangan ekowisata karst didasarkan pada beberapa aspek, yang memungkinkan usaha itu dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.  Aspek tersebut antara lain adalah aspek konservasi, aspek pendidikan dan aspek ekonomi.
Berkaitan dengan aspek konservasi pada upaya pengembangan ekowisata karst di obyek wisata Air Terjun Sri Getuk terdapatpoint-point penting sebagai berikut:
1. Dalam konsep pengembangan geopark Gunungsewu, terdapat 30 situs geologi (geosite) yang tersebar pada kawasan karst  yang ada di Kabupaten Gunungkidul,  Wonogiri dan Pacitan.  Ke-30 situs tersebut merupakan bagian dari konsep perlidungan, pendidikan dan  pembangunan berkelanjutan secara holistik. Di Kabupaten Gunungkidul terdapat 11 situs, satu diantaranya yaitu air terjun Sri Getuk di Desa Bleberan yang merupakan bagian dari geopark Gunungsewu yang dilindungi.  Hal ini sejalan dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, bahwa kawasan bentang alam karst memiliki komponen geologi yang unik, sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaannya dalam rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Menindaklanjuti Permen ESDM tersebut, Pemerintah Daerah  Daerah  Istimewa Yogyakarta mengusulkan penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu di DIY.  Kawasan obyek wisata air terjun Sri Getuk di Desa Bleberan termasuk salah satu dalam usulan penetapan tersebut.  Upaya perlindungan kawasan Gunungsewu yang dikembangkan menjadi kawasan wisata tidak hanya pada aspek fisik namun juga budaya masyarakat lokal yang bisa ditunjukkan kepada wisatawan.
2. Berkaitan dengan perlindungan terhadap kawasan yang dikembangan sebagai obyek wisata tidak lepas dari  pemanfaatan lahan.  Lahan yang dikembangkan menjadi kawasan obyek wisata air terjun Sri Getuk  dan Goa Rancang Kencono merupakan tanah kas desa, tanah “Sultan Ground” atau “SG”, dan tanah milik kehutanan.  Perda RTRW Kabupaten Gunungkidul 2010-2030 menyebutkan bahwa Air Terjun Sri Getuk termasuk dalam areal hutan yang merupakan hutan negara. Hutan tersebut adalah hutan tanaman produksi untuk jenis tanaman kayu jati dan kayu putih.  Tanah milik kehutanan seluas sekitar 1.000 m2 yang telah dimanfaatkan untuk pengembangan, diantaranya dibangun kolam ikan dan warung makan/kuliner. Namun tanah yang digunakan untuk pengembangan kawasan wisata tersebut adalah tanah kosong yang dahulu digunakan sebagai tempat penimbunan kayu (TPK).  Kegiatan pengembangan yang dilakukan tidak mengganggu atau bahkan mematikan fungsi hutan sebagai pengendali dan penyeimbang sistem tata air, karena hanya memanfaatkan tanah yang selama ini tidak dimanfaatkan oleh pihak kehutanan.
3. Tekanan terhadap hutan negara berupa penebangan dan pejarahan kayu di wilayah Desa Bleberan dulu pernah terjadi setelah meletus reformasi.  Namun sekarang tidak pernah terjadi, setelah kawasan air terjun dan goa dikembangkan menjadi obyek wisata.  Bahkan pada akhir Tahun 2013 diadakan kegiatan penanaman bibit pohon di daerah sekitar aliran sungai dan mata air yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi DIY bersama petani penggarap disekitar aliran mata air yang tergabung dalam kelompok HKM.  Kegiatan konservasi ini merupakan upaya penghijauan pada daerah tangkapan air, dimaksudkan agar debit air pada tiga sumber mata air tidak surut/berkurang. 
Program penghijauan ini tidak sekedar bernuansa fisik dengan menanam bibit tanaman, namun juga ada unsur pelestarian budaya di dalamnya.   Progam penghijauan ini menggunakan “dana keistimewaan” sehingga walaupun ini merupakan tupoksi Dinas Perkebunan dan Kehutanan namun tetap bernuansa budaya.  Bahkan dalam pelaksanaannya melibatkan peran masyarakat lokal sebagai petani penggarap lahan milik kehutanan yang tergabung dalam kelompok HKM.  


Pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal dalam upaya konservasi yang bernuansa budaya tidak hanya dibutuhkan selama proses konservasi, tetapi yang lebih penting adalah pasca konservasi.  Pasca konservasi menitik beratkan pada peran masyarakat lokal yang lebih besar sehingga mampu menjamin kontinuitas sebuah konservasi.  Sebagaimana dikemukakan Steger dalam Soeroso A. dan Susilo Y.S (2008) bahwa dalam proses globalisasi berbagai budaya lokal lenyap ternafikan oleh kekuatan homogenisasi barat, akibat gerakan partikularitas keberagaman budaya lokal berkembang ke dalam konstelasi kultur yang baru.  Menjunjung tinggi nilai kearifan lokal ditengah gelombang modernisasi dan identitas budaya lokal yang semakin luntur tergerus jaman menjadi sumber kekuatan tersendiri dalam menjaga kelestarian alam.
Diantara bentuk pelestarian seni dan budaya yang dilakukan yaitu pengadaan gamelan jawa dan wayang dengan menggunakan dana hibah Tahun 2013.  Selain itu bentuk kepedulian terhadap seni dan budaya dengan pemberian bantuan melalui dana pengembangan potensi yang ditetapkan sebesar 20% dari Sisa Hasil Usaha.  Dana ini dipergunakan untuk pemberian bantuan kepada kelompok-kelompok usaha kecil dan kelompok seni budaya yang ada di Desa Bleberan.  Jenis seni budaya yang ada di Desa Bleberan yaitu Kerawitan, Doger, Reog, Hadrah, dan Slawatan.
Kegiatan penggalian atau pengerukan bukit yang selama ini dilakukan dalam rangka pengembangan obyek wisata masih dalam batas wajar dan terkendali.  Penggalian/pengerukan bukit yang difungsikan sebagai lahan parkir seluas sekitar 15 x 50 m masih bisa ditolerir karena tidak mengganggu fungsi lahan.  Kegiatan pengerukan kemudian akan diikuti dengan penanaman bibit tanaman buah untuk mengatasi fungsi penyerapan air dan penanganan lahan kritis.  Konsep penanganan lahan kritis dengan penanaman kebun buah karena memiliki nilai ekonomi.  Kebun buah pada lahan seluas 4 hektar ini kedepan dikemas menjadi agrowisata  guna mendukung obyek wisata utama yaitu air terjun.
Kegiatan penambangan yang dilakukan warga yaitu penambangan tradisional tanpa alat berat pada lahan milik pribadi.  Penambangan yang berada disekitar kawasan obyek wisata  air terjun dan goa masih dalam skala kecil dengan kedalaman antara 1 sampai 1,5 m dengan luasan sekitar 10 m2.  
Salah satu wujud terabaikannya konservasi terhadap keunikan bentang alam karst, yaitu belum adanya perlindungan terhadap keamanan goa karena area parkir berada tepat di atas ruangan goa bagian dalam.   Walaupun struktur batuan yang membentuk sistem pergoaan  cukup kuat karena telah teruji pada saat terjadi gempa pada Tahun 2006 yang melanda wilayah DIY.  Gempa yang cukup dahsyat tersebut dengan kekuatan 5,9 SR tidak menimbulkan runtuhan stalagtit ataupun retakan dinding goa, namun dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kemungkinan amblesan bila diatasnya digunakan untuk parkir kendaraan-kendaraan besar atau bus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar