MULTI PARADIGMA DALAM
PEMBANGUNAN DESA
(Wasidi, S2 PPW UNHAS)
A.
PENDAHULUAN
Seseorang bisa
dikatakan mencari proses percepatan dalam menjemput kematian bila ia hanya
diam-tiada bergerak tanpa melakukan perubahan walaupun qadha’ dan qadar telah
digariskan oleh Tuhan, sebuah bangsa dan negara akan mendekatkan diri pada
titik kehancuran ketika hanya pasrah kepada keadaan tanpa mengikuti gerak
perkembangan zaman dengan segala tatanan komplesitasnya walaupun kejayaan dan
kemunduran sebuah bangsa telah dituliskan Tuhan. Namun usaha untuk merubah nasib kearah yang
lebih baik adalah sebuah keniscayaan daripada malas-berpangku tangan kemudian musnah
terlindas zaman yang tatanannya semakin tak terprediksikan.
Derap dan gaung
perubahan inilah yang kemudian ditangkap oleh para ilmuwan untuk kemudian
diwacanakan dan dikontribusikan dalam rangkaian kata “paradigma pembangunan” yaitu
sebuah cara pandang yang mendasar terhadap suatu persoalan pembangunan yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan
baik sebagai proses atau metode untuk mencapai peningkatan kualitas
manusia dan kesejahteraan rakyat. Tetapi menjadi
lain ceritanya ketika pemikiran paradigma pembangunan yang diusung para ilmuwan
ini kemudian melenceng dalam pelaksanaan, dimana ketika suatu paradigma direalisasikan justru kadang menimbulkan
krisis multidimensional. Yaitu krisis yang melingkupi dimensi intelektual,
moral dan spiritual yang kemudian menimbulkan kekawatiran akan keberlangsungan
pembangunan karena ketiadaan harmonisasi sistem sosial dengan lingkungan
ditandai dengan eksploitasi tanpa hati dan kurangnya kesadaran akan ketergantungan
kehidupan kepada alam.
Menurut
Escobar (2010), saat ini pandangan mendasar tentang substansi dan metode
pembangunan dapat diklasifikasikan atas paradigma Liberal, paradigma Marxis dan
paradigma Post-strukturalis. Paradigma
Liberal ditandai dengan kemunculan ide dan gagasan para ilmuwan yang tertuang
dalam teori-teorinya setidaknya menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan dan
ketertinggalan negara-negara dunia ketiga karena faktor internal negara-bangsa
itu sendiri yang masih primitif dan terbelakang. Untuk membongkar keprimitifan dalam rangka
mengejar ketertinggalan, paradigma liberal menawarkan solusi dengan modernisasi
dalam segala bidang, mengajarkan kebebasan pasar/swasta dengan memperkecil
campur tangan negara/pemerintah dan membiarkan investor asing untuk masuk dan
ikut mengelola sumber daya yang ada. Namun
dalam prakteknya teori modernisasi tidak sepenuhnya memberikan dampak kemajuan
tapi justru menimbulkan masalah baru sebagaimana yang dialami Amerika Latin
yang semakin tergantung akan bantuan luar negeri dan lembaga-lembaga donor
keuangan internasional. Kondisi seperti
inilah yang kemudian dikoreksi dalam paradigma Marxis. Teori dependensi mengkritisi langkah
modernisasi yang harus dilalui negara berkembang dengan menawarkan terapi untuk
tidak bergantung lagi dengan negara-negara pendonor, berani memutuskan bantuan
dari negara maju dan berusaha untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri.
Kemunculan paradigma liberal dan
paradigma marxis yang selama ini hanya berfokus membangun pada struktur yang sifatnya fisik-material dan hasrat
mengejar dunia barat yang diidentikan sebagai negara maju dipertanyakan dalam paradigma Post-Strukturalis.
Post-strukturalis lebih menganjurkan bagaimana merepresentasikan diri dengan
mewacanakan ilmu pengetahuan (knowledge)
tanpa harus terjebak untuk mengejar ketertinggalan.
Paradigma
pembangunan yang digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan/menerangkan,
menafsirkan dan mengintervensi sebuah gerak perubahan harus mampu menangkap
makna kesederhanaan dan keteraturan disamping kompleksitas dan ketidakteraturan
serta adanya nuansa ketidakjelasan arah.
Begitu juga aplikasi paradigma pembangunan yang berlangsung pada
desa-desa di Indonesia entah itu desa persawahan dan dataran rendah, desa
pedalaman dan dataran tinggi ataupun desa pantai dan pesisir dengan realitas gerak
perubahan yang semakin sulit untuk ditarik kejelasan garis lurusnya karena
proses evolusi dan akselerasi perubahannya tidaklah mungkin terwadahi dalam
salah satu paradigma. Dominasi satu
paradigma saja tidak memungkinkan untuk mengelola sebuah desa sebagai entitas
yang didalamnya tercakup hal-ihwal yang mendukung keberadaanya, karena
tiap-tiap desa mempunyai ciri keberagaman yang berbeda-beda.
B.
PEMBAHASAN :
Aplikasi Tiga Paradigma dalam Dinamika Perkembangan Desa
1.
Teori dan
Aplikasi Paradigma Liberal
Sebab kemunculan
paradigma liberal karena adanya
fenomena kemiskinan di banyak negara dunia ketiga terutama setelah Perang Dunia
II. Dimana Jerman dan sekutu-sekutunya
setelah mengalami kekalahan dalam perang perlu melakukan pemulihan kondisi,
begitu juga negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang disebut
sebagai negara dunia ketiga mengalami ketertinggalan dalam pembangunan. Hal ini
yang kemudian menjadikan Amerika tergerak secara moral dan merasa
bertanggungjawab untuk memulihkan kondisi negara-negara yang kalah perang dan
negara-negara dunia ketiga yang diidentikkan sebagai negara miskin untuk mengejar
negara maju. Langkah Hendry Turman untuk
memanggil para ilmuwan kemudian merumuskan apa yang perlu dilakukan oleh negara
berkembang/tertinggal menjadi penyebab munculnya istilah ”development” yang
dimaknai sebagai suatu perubahan yang direncanakan secara sistematis. Kemudian Tahun 1946-1947 Amerika mendesain sebuah
“Marsall Plan" yang diikuti dengan membentuk World Bank dan International
Monetery Fund (IMF) sebagai lembaga/badan yang memberi suntikan bantuan
keuangan kepada negara-negara berkembang.
Bantuan dana inilah yang nantinya diharapkan dapat digunakan oleh
negara-negara berkembang untuk menggerakkan roda perekonomian dan melakukan
langkah percepatan dalam pembangunan.
Untuk
mendorong adanya pertumbuhan bagi negara berkembang , selain memberikan
suntikan dana bantuan, paradigma liberal dengan teori modernisasinya menganjurkan
perubahan pada semua aspek kehidupan. Paradigma
modernisasi berpandangan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan oleh
ciri kultural dan sturktural internal masyarakat negara berkembang itu
sendiri. Maka pada dimensi kultural
perlu pembenahan dan perubahan tradisi masyarakat. Intinya
adalah rasionalisasi, dimana dibutuhkan proses pengosongan alam pikir
sehari-hari manusia dari hal-hal yang bersifat magic, mistik dan mitos diganti
kearah rasionalitas dalam berpikir, lebih objektif dan bersifat empirik. Agar rasionalisasi berlangsung cepat, ruang
normatif yang rigid harus digeser ke ruang normatif yang elektif.
Pada dimensi politik, perlunya keberanian
untuk beralih dari tradisi politik yang bersifat feodal-kerajaan ke sistem
republik-demokratis. Pada dimensi
sosiologis, agar masyarakat keluar dari ketertinggalan, modernisasi menekankan
perlunya diferensiasi sosial, suatu proses dimana masyarakat mengalami
spesialisasi fungsi dan lembaga yang dengan itu pencapaian tujuan berlangsung
lebih efektif dan efisien (Neil J. Smelser, 1969). Pada dimensi psikologis,
modernisasi mengharuskan adanya kelompok masyarakat yang telah terbiasa hidup dalam dunia lemah, soft culture, dan rendah etos untuk memiliki
motif berprestasi (need for achievement), karena dengan motif berprestasi itu kelompok wiraswasta muncul dan menjadi
penggerak ekonomi modern (McClelland, 1964).
Pada dimensi
ekonomi muncul tokoh Walt Rostow (1960) yang menuangkan ide, gagasan dan
pikirannya kemudian diwacanakan dan dikontribusikan untuk perubahan struktur
ekonomi dalam suatu pentahapan terencana demi kemajuan negara-negara berkembang. Rostow
merumuskan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi di negara maju sebagaimana dalam
bukunya: “The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”. Dalam penelitiannya Rostow mengemukakan 5 (lima) langkah perkembangan yang dijalani
negara-negara maju seperti Amerika, Perancis, Inggris dan Rusia, yaitu : Primitif, ditandai dengan ciri
masyarakatnya yang masih primitif-kesukuan, penggunaan teknologi yang sederhana
dan secara ekonomi penghasilannya hanya cukup untuk dikonsumsi; Pra Take-off, dengan ciri masyarakat
tradisional namun secara ekonomi sebagian penghasilannya disisihkan untuk
ditabung atau bahkan diinvestasikan walaupun dalam skala kecil-kecilan; Take-off, dalam tahap ini terjadi pertumbuhan secara
drastis-investasi lebih dari 10% setiap tahun yang kemudian mengakibatkan
guncangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kesiapan masyarakat untuk tinggal landas
dengan perubahan struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Fase
Take-off ini dijalani kurang lebih selama 20-25 tahun; Pematangan Ekonomi, dimana setelah terjadi proses tinggal landas
maka akan tercapai kematangan perekonomian yaitu ekonomi akan tumbuh dengan
sendirinya; High Mass Consumtion,
dicirikan dengan kesejahteraan masyarakat yang ditandai tingkat konsumsi
masyarakat yang tinggi. Teori ini
diadopsi di Indonesia oleh Rezim Suharto dan diterapkan dalam era Orde Baru
melalui REPELITA. Pada masa pemerintahan
Soeharto diberikan kebebasan para pelaku usaha-swasta untuk mengelola sumber
daya yang ada. Maka dibuatlah Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing,
sehingga investor asing masuk ke Indonesia dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Agar
transformasi ekonomi ini berlangsung, modernisasi menganjurkan negara
berkembang diberi bantuan dana pembangunan untuk menggerakkan investasi. Dalam
prakteknya, pembangunan ekonomi kemudian menjadi arus utama dari proses
modernisasi. Ideologi pembangunan yang
dianut adalah pertumbuhan, efisiensi dan kompetisi; tujuan pembangunan lebih
berfokus pada ekspansi produktivitas ekonomis; sasaran pembangunan pada
pembenahan sumberdaya, pengembangan
teknologi dan perbaikan cara produksi; dimana unit operasional dari
semua upaya pembangunan adalah level nasional.
Dengan modernisasi, pemasukan modal asing, pengembangan teknologi
modern, perbaikan dan pengembangan prasarana, serta pengembangan pondasi
ekonomi, ditempatkan sebagai sarana utama dari pembangunan.
Teori
Kebutuhan Dasar melontarkan kritik terhadap teori modernisasi yang menekankan
adanya pertumbuhan ekonomi karena didorong oleh modernisasi namun kenyataannya
tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Pertumbuhan yang terjadi tidak bisa dirasakan
oleh semua lapisan masyarakat hanya dinikmati segelintir orang atau para pelaku
usaha, maka kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan
kesehatan yang menjadi hak dasar setiap warga harus dijamin keterpenuhannya
oleh negara. Negara harus menciptakan
kehidupan yang bermartabat dengan membuka akses atas sumber penghidupan seperti
lapangan kerja dan lapangan usaha, menumbuhkan partisipasi sehingga masyarakat
dapat andil dalam pengambilan keputusan, dan bebas dalam menyuarakan dan
menentukan pilihan. Argumentasi teoritis
datang dari Paul Streeten (1981) bahwa selain tanah, uang dan mesin, pendidikan
dan kesehatan diperlukan untuk memacu produktivitas nasional; bahwa sebagian
besar penduduk miskin tidak memiliki harta selain badannya karena itu investasi
SDM sangat logis; dan bahwa peningkatan pendapatan penduduk miskin memang
hendaknya dibarengi dengan produksi barang dan jasa untuk konsumsi massa.
Argumen ini diperkuat oleh ILO (1976) bahwa pembukaan lapangan kerja mutlak
bagi negara berkembang tidak hanya karena alasan produktivitas tetapi karena
bekerja dan mendapatkan nafkah memang merupakan hak dasar.
Laju pertumbuhan ekonomi yang menjadi main-stream paradigma modernisasi
mendapat reaksi dari paradigma pembangunan berkelanjutan karena efek degradasi
ekologis yang ditimbulkan. Paradigma
pembangunan berkelanjutan yang didukung
oleh pemikir post-modernism
memiliki pandangan mendasar bahwa pertumbuhan ekonomi telah berefek pada
eksploitasi sumberdaya yang melewati daya dukung bumi sehingga menimbulkan
kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap ketidakberlanjutan Sumber Daya Alam
dalam mendukung kehidupan. Pembangunan
hanya terkesan untuk pemenuhan kebutuhan
sekarang tanpa memikirkan generasi akan datang yang pada kenyataannya ikut
menanggung beban dan memikul tanggungjawab atas warisan utang negara. Maka
agenda paradigma pembangunan berkelanjutan yang didukung teori entropi dan
teori ekologi serta beberapa teori yang lain adalah bagaimana menahan laju
pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan sumberdaya
alam serta konservasi atas lingkungan/sumberdaya alam tersebut.
Revolusi Hijau Sebagai
Modernisasi yang Mengguncang Desa Persawahan dan Dataran Rendah
Ada sepenggal cerita
dari orang Arab yang pernah bertandang ke Indonesia dengan perasaan takjubnya
akan keindahan alam Indonesia yang subur dan hijau, ia ungkapkan bahwa kalau
ingin menyaksikan sebongkah tanah yang dikirim dari surga datanglah ke
Indonesia. Memang tidaklah dipungkiri dengan
keberadaan negeri ini yang konon laksana untaian jamrud katulistiwa, kesuburan
buminya bukanlah mitos lagi karena tongkat kayu yang dilempar saja bisa jadi
tanaman - dan ini tidak akan ditemui di negeri Arab yang sejauh mata memandang
hanya hamparan padang pasir belaka, yang kadangkala dalam teriknya siang
menimbulkan efek tipuan alam yang mengesankan adanya air dari kejauhan namun
realitasnya hanya fatamorgana. Negeri
Indonesia dengan dataran rendahnya dan desa persawahannya yang subur dan ijo royo-royo[1]
memang tidak terlepas dari penerapan revolusi hijau sebagai bentuk
intervensi dari paradigma liberal.
Dari dimensi
modernisasi ekonomi desa persawahan telah melakukan aplikasi inovasi dan
perubahan teknologi melalui revolusi hijau, deret ukur pertumbuhan pangan dapat
mengejar deret hitung pertumbuhan penduduk.
Satu ciri modernisasi ekonomi pada desa persawahan adalah revolusi hijau
dan komersialisasi ekonomi yang merupakan jalur tepat bagi transformasi petani
tradisional menjadi modern. Sedangkan aplikasi modernisasi budaya pada desa
persawahan yaitu desa ini paling cepat mengenal tradisi luhur (great tradition) perkotaan dan
mempertemukannya dengan tradisi kecil (little tradition) dari desa, mereka
inilah yang paling intensif dipengaruhi gaya hidup perkotaan dan memasuki alam
pikir kosmopolitan. Sedangkan perwujudan modernisasi politik desa ini yang
paling banyak dikunjungi pejabat, menjadi obyek penelitian, dan ajang perebutan
suara para politikus. Para penyuluh juga
berusaha melakukan modernisasi psikologis terhadap petani melalui sebuah model
diri petani (peasant model), begitu
pula model tentang bagaimana penyuluhan untuk menghantarkan inovasi (adaption model). Petani dibayangkan berada dalam budaya
subsistensi denga ciri-ciri familisme tinggi, fatalistik, jauh dari inovasi,
pandangannya terbatas tentang dunia, aspirasi rendah, empati rendah, kurang
kritis dan sebagainya lalu ingin ditransformasi menuju ciri komersial melalui
program penyuluhan.
Modernisasi
telah membawa desa persawahan ini pada perubahan sosial-ekonomi-budaya. Peningkatan produksi dan pendapatan telah
berlangsung signifikan akibat nilai tambah dari penggunaan sarana dan teknologi
pertanian modern. Mobilitas ekonomi dan
mobilitas sosial serta perubahan jarak ekonomi dan jarak sosial antar individu,
golongan, strata dan kelas telah terjadi dan seiring dengan itu terjadi pula
perubahan gaya hidup. Perayaan
swasembada beras yang mengiringi perayaan kemerdekaan merupakan wujud dari
modernisasi bidang pertanian yang pada intinya pencapaian produk dan
produktivitas padi sawah berlipat-lipat sebagai hasil penggunaan bibit unggul,
pemberian pupuk sintetis dan aplikasi pestisida.
Aplikasi teori
kebutuhan dasar juga nyata pada desa persawahan yang relatif terpenuhi
kebutuhan infrastruktur dan pelayanan dasarnya.
Dibanding desa pedalaman dan dataran tinggi serta desa pesisir dan
pantai; desa persawahan relatif terpenuhi kebutuhannya akan infrastruktur
transportasi, energi, komunikasi, informasi, pasar dan perbankan, serta pelayanan
pendidikan, kesehatan dan administrasi publik sehingga warga desa ini memiliki
angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup dan akses ke
luar wilayah yang lebih baik dibanding tipe desa lainnya.
Pada desa
persawahan telah terhantarkan pula inovasi sosial dalam bentuk kelembagaan
kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan), perkumpulan
petani pemakai air (P3A), koperasi unit desa (KUD), badan usaha unit desa
(BUUD), kelompok pendengar-pembaca- pirsawan (kelompencapir), kelompok
masyarakat penerima bantuan IDT (pokmas IDT), kelompok swadaya masyarakat
(KSM), dan badan keswadayaan masyarakat (BKM).
Terbentuknya kelembagaan di desa ini diharapkan masyarakat mengalami
spesialisasi fungsi dan lembaga.
Perubahan ekologi desa persawahan sebagai pusat
revolusi hijau yaitu berlangsungnya manipulasi genetik melalui penggunaan
vareitas hibrida dan bibit transgenik, manipulasi hara dalam tanah melalui
penggunaan pupuk sintesis, serta manipulasi musuh alami bagi hama tanaman
melalui aplikasi pestisida. Semua ini
berakibat pada ketercemaran tanah, air dan udara; perubahan struktur, tekstur
dan porositas tanah; berkurangnya kualitas dan keragaman hayati; perubahan
iklim mikro; dan keterkandungannya residu racun dalam tanah. Gejala seperti ini akan menimbulkan resiko
bagi keberlangsungan hidup manusia, maka aplikasi nyata dari teori pembangunan
berkelanjutan melalui teori risk society dan modernisasi ekologi perlu
diterapkan dengan penggunaan bibit lokal, pupuk organik, musuh alami bagi hama
pengganggu tanaman, taksonomi tanaman dan penggunaan teknologi tepat guna.
Modernisasi pada Desa Pedalaman dan Dataran Tinggi
yang Terpinggirkan
Desa
pedalaman dan dataran tinggi yang diidentikan dengan keterpencilan dan ketidakmoderenan
mengalami keterlambatan dalam menerima sentuhan pembangunan, karena mereka
terpinggirkan oleh perubahan terencana dan tertinggal melibatkan diri dalam
revolusi hijau yang digerakkan oleh pemerintah.
Namun demikian desa pedalaman dan dataran tinggi bukanlah etintas yang
diam bahkan seiring dengan dinamika yang melanda desa tersebut telah terjadi
proses transformasi sosial-ekonomi dan budaya hingga mendorong munculnya
inovasi, baik yang dihantarkan oleh pihak pemerintah maupun dari dalam
masyarakat sendiri. Bahkan karena
pengaruh modernisasi melalui revolusi hijau desa pedalaman, pinggiran hutan,
dan dataran tinggi, maka terlihatlah pemandangan hijau segar karena tanaman cengkih, kakao, kopi, teh dan vanili
yang ketika krisis akhir tahun 1990-an melanda, tanaman ini menjadi komoditas
penyangga ekonomi perdesaan.
Teori
modernisasi pun terwujudkan pada kasus di masyarakat Sulawesi Selatan tentang
bagaimana mereka berinovasi dalam tanaman kakao. Sehingga dapat dikatakan bahwa kakao telah
mentransformasikan sistem sosial-ekonomi-budaya pedalaman, pinggir hutan dan
dataran tinggi ke arah formasi sosial komersial-kapitalistik melalui perubahan
besar oleh adopsi kakao tersebut. Modernisasi
untuk menanggulangi kerusakan ekologi berlangsung juga atas inovasi yang
dihantarkan dari pihak pemerintah yaitu dalam hal mengatasi serangan perusak
batang kakao (PBK). Sistem yang
dianjurkan adalah pemangkasan total yaitu pemangkasan dengan membuang cabang
muda, dimana pohon dibiarkan hampir tanpa daun dan buah selama 12-18
bulan. Ketidakefektifan sistem ini
dilanjutkan inovasi yang lain melalui teknik sarungisasi/kondomisasi, dimana
buah dibungkus dengan kantong plastik untuk mencegah serangga meletakkan
telurnya pada buah dan mencegah larva masuk kedalamnya. Berbagai inovasi lainnya juga ditempuh dengan
melakukan rampasan dikombinasikan dengan penyemprotan sampai kemudian teknologi
sambung samping dan penanaman kembali yang dimassalkan lewat proyek pemerintah. Penurunan grafik produktivitas kakao semakin
nyata terasakan dimana ketika pemanfaatannya hampir melampaui batas entropi dan
mendekati titik kepunahan. Meskipun
berbagai upaya pemupukan, penyemprotan, penanggulangan hama diintensifkan namun
hasil panen kakao dari pohon yang sudah menua semakin jauh dari yang
diharapkan. Disinilah peran pemerintah
yang menginginkan adanya keberlanjutan pengembangan kakao mencerminkan
pelaksanaan teori ecofeminisme/gender
untuk mencapai keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi dengan memberikan
bantuan untuk penanaman kembali (replanting)
pada tahun 2006. Maka bangkitlah kembali
semangat petani untuk mengolah tanah, menebang pohon yang tidak produktif dan
menggantinya dengan tanaman baru melalui dukungan bantuan dari pemerintah berupa
mesin chain saw, linggis, parang,
kawat berduri dan bibit baru.
Teori
pembangunan berkelanjutan nyata pada masyarakat desa pinggir hutan yang
menggantungkan penghidupan pada hutan sebagai sumber mata pencaharian. Karena pengaruh pertumbuhan populasi dan
penetrasi kapitalisme serta fenomena kemiskinan yang mendera, mereka terpaksa
melakukan pencurian, pengrusakan dan pembalakan liar. Pembalakan liar yang dilakukan secara sadar
oleh sebagian warga karena tekanan pemenuhan kebutuhan perekonomian akan berdampak
buruk pada kelestarian hutan, dimana ketika hutan diambil manfaatnya secara
serampangan hingga melampaui batas maka
akan terjadi akibat yang merugikan umat manusia sendiri, seperti
turunnya binatang buas ke perkampungan, turunnya segerombolan monyet yang mencari makan di ladang maupun
persawahan, dan yang lebih fatal lagi akan terjadi erosi dan banjir. Guna
mengatasi deforestasi yang terjadi diperlukan perencanaan pengurusan
hutan untuk menjaga kelestarian hutan dan mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Modernisasi teknologipun dimainkan guna
menjamin keberlanjutan berbasis GIS dan
sistem komputer, aplikasi teknik lacak-balak dan sertifikasi ekolabel dalam
penebangan dan perdagangan kayu.
Ketika Modernisasi Menyentuh Desa Pantai dan Pesisir
Desa
pantai dan pesisir yang terkontruksi dalam keterpencilan geografis maupun
sosial di balik ketertinggalan atas arus perubahan dan peradaban akhirnya
seiring sepoi-sepoinya tiupan angin laut tersentuh juga oleh modernisasi. Modernisasi terjadi melalui inovasi dari luar
pada tahun 1980-an. Ketika itu, nelayan
tradisional-subsisten hendak ditransformasikan menjadi nelayan
modern-komersial. Pengoperasian alat
tangkap sederhana hendak ditransformasikan menjadi alat tangkap canggih dengan
jangkauan laut dalam. Perahu tangkap
tonase kecil menggunakan layar hendak ditransformasikan menjadi kapal tonase
besar bermesin. Pola patron-klien dalam
kelembagaan sosial-ekonomi nelayan dalam kelompok kecil ditransformasikan
menjadi organisasi formal dalam ikatan ekonomi-rasional. Pemerintah lalu menghantarkan kredit modal
produksi, alat tangkap danperahu modern.
Nelayan dikelompokkan dan KUD Mina dikembangkan sebagai wahana untuk
mengakses sarana penangkapan, memasarkan hasil tangkap, dan memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Inilah skenario revolusi
biru sebuah perubahan produksi secara cepat dan radikal yang terjadi pada desa
pantai dan pesisir.
Beberapa
contoh dari inovasi yang mereka lakukan adalah ketika nelayan Bulukumba
Sulawesi Selatan mengadopsi teknologi bagan untuk menjinakkan ikan sebelum
ditangkap; ketika tahun 1977 mereka mengadopsi teknologi rompong dan panja (gill-net); pada tahun 1980 nelayan Tanah
Jaya mengadopsi teknologi gae (purse seine); pada 1995 mengadopsi
rampong Taiwan dan membuat desain perahu yang menyediakan ruang penyimpan es-balok
agar ikan tetap segar. Kemudian
modernisasi menyentuh pada beberapa peralatan manual yang digantikan dengan
peralatan elektrik sehingga harapan mengubah cara kerja menjadi lebih efisien
terwujud.
Teori ekologi
dalam pembangunan berkelanjutan nyata dalam usaha masyarakat memelihara terumbu
karang, pelarangan penggunaan bom, bius, tuba, pembuangan limbah rumah tangga
dan reklamasi pantai. Upaya ini sebagai
wujud kepedulian dalam pelestarian terumbu karang, menjaga perariran dari
ketercemaran, kerusakan hutan mangrove, keterbatasan biodiversitasnya,
kemunduran daya produksinya, dan kelangkaan populasi ikan.
2.
Teori dan
Aplikasi Paradigma Marxis
Dibawah paradigma modernisasi dengan main-stream pada
pembangunan ekonomi, kemajuan ekonomi
kemudian dicapai negara berkembang. Tetapi, realitas menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi tersebut sulit dipelihara keberlanjutannya, dan dalam pada
itu fenomena ketergantungan semakin nyata,
realitas kemiskinan tetap persisten, degradasi lingkungan semakin
terjadi, dan pada berbagai kasus muncul gejala dedemokratisasi. Dapat
disimpulkan bahwa dengan paradigma modernisasi pertumbuhan ekonomi negara
berkembang dapat dibenahi, tetapi di balik itu berbagai masalah baru muncul,
dan beberapa masalah lama juga tetap tidak bisa dibenahi. Artinya, dengan
meminjam pemikiran Kuhn (1962) tentang revolusi paradigma, dalam berbagai aspek
paradigma modernisasi telah mengalami anomali bahkan menuju fase krisis, dan
karena itu muncul paradigma baru.
Paradigma Marxis didukung para pemikir post modernism yang kemudian mengkritisi
paradigma liberal karena ternyata bantuan dari negara maju dilakukan dengan
setengah hati dan dibalik itu tersembunyi maksud untuk mencari keuntungan dan
memperkaya diri. Efek bantuan yang dikucurkan tidak tercapai secara optimal
karena keharusan untuk mengembalikan pinjaman dan membayar bunga utang, membeli
teknologi dan tenaga ahli dari negara pendonor serta terjadinya eksploitasi
sumber daya alam secara serampangan tanpa memikirkan generasi mendatang.
Modernisasi yang
dilakoni Amerika Latin tanpa membawa arah positif dalam perubahan bahkan
terkesan stagnan karena penyebab faktor eksternal, ketidakadilan dan
eksploitasi dalam hubungan internasional menuai kritik dari para pemikir
marxisme. Reaksi yang muncul diantaranya
melalui teori dependensi klasik yang
mengemukakan adanya dua kelompok negara di dunia yakni negara inti dan
negara pinggiran. Menurut A.G. Frank
(1967) akar dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah eksploitasi yang dilakukan
oleh negara inti kepada negara pinggiran.
Kemudian dari model inti-pinggiran tersebut tercipta sistem pembagian
kerja internasional, dimana negara inti memproduksi komoditas industri yang
nilai tambah dan spin-offnya tinggi
sedangkan negara pinggiran memproduksi produk pertanian yang nilai tambah dan spin-offnya rendah. Teori
dependensi juga berpandangan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan
oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui pengembalian bantuan
kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971). Teori-teori ini merekomendasikan
bahwa kalau kemiskinan dan keterbelakangan ingin dihapuskan, maka negara
pinggiran harus memutuskan hubungan dengan negara inti.
Teori dependensi baru lebih moderat dalam
melihat hubungan eksploitatif negara berkembang dengan negara maju. Hopkins dan
Wallerstein (1977) melihat bahwa hubungan inti-pinggiran bersifat dinamis.
Sebuah negara pinggiran tidak selalu berposisi pinggiran, ia dapat maju menjadi
negara semi-pinggiran bahkan menjadi negara inti. Penganjur teori dependensi
baru (Cardoso,1973; Warren, 1980; dan Evans, 1981) juga melihat bahwa hubungan
inti-pinggiran sebenarnya tidak sejelek yang digambarkan teori dependensi klasik,
karena dalam kondisi bergantung negara berkembang dapat mencapai berbagai
kemajuan dalam industrialisasi.
Solusi
yang ditawarkan dalam aliran dependensi adalah jangan tergantung dengan bantuan
investasi maupun teknologi negara maju, berani mengambil keputusan untuk
memutuskan bantuan dan mengelola sendiri sumber daya alam secara mandiri. Pada masa rezim Soekarno teori ini diterapkan
melalui spirit berdiri diatas kaki sendiri (berdikari). Soekarno tidak ingin bergantung dari bantuan
negara-negara maju, tetapi lebih lebih percaya pada daya dan kemampuan bangsa
sendiri untuk mengelola sumber daya alam Indonesia.
Teori
pembebasan pada paradigma marxis lahir dengan pandangan mendasar bahwa
pembangunan mestinya identik dengan proses pembebasan manusia dari ketertindasan
dan ini tidak mampu dilakukan oleh paradigma liberal, bahkan paradigma
modernisasi pembangunan muncul dengan wajah hegemonik, sehingga aspirasi dan
tindakan yang bertentangan dengannya ditindas “oleh dan atas nama” pembangunan
itu sendiri. Ideologi dari paradigma ini
adalah pembebasan, demokratisasi, partisipasi warga, dan kemandirian atau
kemampuan menolong diri sendiri.
Paradigma pembebasan didukung oleh teori-teori pembangunan
partisipatoris, terutama teori pembangunan masyarakat (community development), pengorganisasian masyarakat (community organisation) dan pemberdayaan
masyarakat (community empowerment). Didalamnya proses penyadaran dan
pengorganisasian merupakan tahapan penting agar dengan itu tindakan kolektif
dapat bangkit untuk suatu transformasi sosial.
Para pelaku pembangunan bagi paradigma ini adalah LSM dan publik, dengan
unit operasional yang bergerak dari level lokal ke level nasional.
Mengangkat
Harkat-Martabat Manusia Melalui Revolusi Hijau Desa Persawahan dan Dataran Rendah
Pembebasan
manusia demi harkat dan martabat dilakukan oleh presiden Soeharto dengan Orde
Barunya melalui revolusi hijau dan merealisasikan spirit dengan makan di atas
produksi sendiri (swasembada beras).
Harkat terendah dari sebuah rumah tangga, negara-bangsa, adalah saat
kebutuhan pangannya tidak mampu ia penuhi sendiri. Swasembada beras telah mengangkat bangsa
Indonesia melewati ambang terendah dari harkat tersebut. Swasembada beras adalah cara bangsa Indonesia
membuka katarsis bagi warganya untuk keluar dari kerendahan diri sebagai bangsa
pemakan jagung. Ketika sekian lama
jagung identik dengan kemiskinan/kepapaan/kemelaratan/status sosial rendah. Produksi beras yang melimpah ruah dan
keberhasilan warga makan beras, seakan sudah membebaskan warga dari kemiskinan
dan kenestapaan, membebaskan warga dari penindasan harkat dan martabat karena
status sosial rendah yang sekian lama disandang.
Memasuki
Tahun 1990-an Teori Community Empowerment
teraplikasi pada desa persawahan dataran rendah, dimana desa ini menjadi bagian
dari intensifikasi program pemberdayaan masyarakat. Berawal dari Program Inpres Desa Tertinggal
(IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pada akhir 1990-an, dan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada awal 2000-an, Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), serta berbagai program yang dihantarkan donor
melalui LSM dan konsultan; menempatkan desa sebagai arena bagi fasilitator
komunitas untuk proses penyadaran, pengorganisasian, dan pengelolaan sumberdaya
secara partisipatoris dan berbasis komunitas.
Pendekatan sektoral yakni pembangunan pertanian digeser oleh pendekatan
pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan. Pendekatan ini melibatkan ratusan ribu tenaga
fasilitator bergelar sarjana, memberdayakan jutaan warga desa sebagai pengurus
organisasi keswadayaan, menghantarkan ratusan milyar rupiah dana pemberdayaan
ke desa, serta menjalankan ribuan kegiatan bidang ekonomi, sosial, fisik dan
lingkungan yang dikelola oleh organisasi keswadayaan masyarakat desa. Bersama ini terjadi pula pengangkatan harkat
dan martabat manusia karena perubahan status sosial dimana sejumlah warga
menjadi PNS sebagai aparatur desa, kelurahan, kecamatan dan kabupaten, serta
puluhan ribu warga desa menjadi pegawai honorer kantor desa ataupun pengurus
Badan Permusyawaratan Desa.
Pembebasan dan
Pemberdayaan Desa Pedalaman dan Dataran Tinggi
Desa pedalaman,
dataran tinggi dan pinggiran hutan adalah desa yang sunyi dalam perbincangan,
dimana manusia warga desanya bergulat dalam penderitaan dan seakan terlelap
dalam kepasrahan karena ketertinggalan dalam pembangunan. Namun dari sinilah terbangkitkan niat untuk
mengangkat harkat-martabat yang terendahkan karena sebagian dari warganya pada
tahun 1970-1980-an berhasil menembus kebebasan dan keluar dari keterbatasan
dengan memperoleh gelar kesarjanaan.
Mereka mengukuhkan keinginan, datang dan menumpang di ibukota kabupaten
untuk bersekolah SMP dan SMA, di ibukota provinsi untuk kuliah di perguruan
tinggi, sambil terus merasai penanda sebagai orang pedalaman dan orang gunung.
Paradigma
pembebasan didukung oleh teori-teori pembangunan partisipatoris, terutama teori
pembangunan masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan masyarakat
nampak pada desa pinggiran hutan sebagaimana kasus yang terjadi di Konawe
Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Penanganan
kasus illegal logging kawasan hutan
jati yang mengancam kelestarian hutan melalui pemberdayaan masyarakat pada 4
kecamatan dan 46 desa sekitar hutan.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan digerakkannya kelompok di tiap
desa, jaringan kelompok di tingkat kecamatan, federasi kelompok tingkat
kabupaten, dan kelembagaan koperasi sebagai wadah aktivitas ekonomi. Kontribusi multi pihak telah berlangsung
mulai dari pemerintah kabupaten hingga kementrian pada dunia pemerintahan;
mulai dari LSM lokal hingga perguruan tinggi dan jaringan LSM internasional
pada dunia civil society; mulai dari usaha kayu lokal hingga perdanggangan kayu
internasional pada dunia swasta; serta berbagai lembaga donor. Inilah inovasi sosial yang lahir; sentuhan
antara keberdayaan masyarakat desa dengan multi pihak luar desa dalam
pengurusan hutan.
Walaupun dalam konstruksi sosial-budaya
dan politik-ekonomi menempatkan desa pedalaman, dataran tinggi dan pinggir
hutan sebagai pinggiran, namun karena sistem dinamik, desa ini tengah berproses
menjadi pusat. Ditengah berlangsungnya
narasi besar tentang kemoderenan budaya, keriuhan kemegahan kota, hiruk pikuk
demokrasi politik dan globalisasi ekonomi, desa pedalaman, dataran tinggi dan
pinggir hutan tengah membangun narasi-narasi kecil perubahan dari
keterpinggiran menuju inti-pusat.
Narasi Kecil
Pemberdayaan Masyarakat Desa Pantai dan Pesisir
Dinamika desa
pantai dan pesisir juga telah bergerak melalui narasi kecil pemberdayaan
masyarakat (community empowerment). Jalur pemberdayaan masyarakat pesisir dan
pantai diimplementasikan melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP) dan Coral Reef
Rehabilitation and Management Program (COREMAP).
Tujuan dari PEMP adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi,
peningkatan kualitas SDM, dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi, dengan
mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan
berkelanjutan.
Dalam pemberdayaan ini setidaknya berlangsung
empat kegiatan inti bagi lahirnya inovasi teknis dan kelembagaan di desa pantai
dan pesisir. Pertama, fasilitasi
terbentuknya Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3)
yang mengelola dana ekonomi produktif yang dimanfaatkan oleh kelompok usaha
produktif desa pesisir. Kedua,
pengembangan usaha ekonomi produktif oleh kelompok penangkap ikan, pembudidaya
ikan, pengolahan ikan, pemasaran ikan, penyedia jasa perbengkelan dan jasa
sarana produksi lainnya. Ketiga,
pelatihan SDM dan penguatan kapasitas kelembagaan desa pesisir, khususnya dalam
peningkatan motivasi dan kerja sama kelompok.
Keempat, pengembangan model pemberdayaan pasca pendampingan, yang
diarahkan pada pengembangan jaringan usaha antara masyarakat pesisir dengan
kelompok lain. LSM, swasta dan pemerintah daerah. Keseluruhan kegiatan ini dikelola oleh multi
pihak, yaitu : pihak pemerintah baik pusat maupun daerah; konsultan manajemen
(LPSM, perguruan tinggi dan jasa konsultan); tenaga pendamping desa (TPD).
Sementara COREMAP adalah program pemberdayaan
masyarakat pantai dan pesisir yang bertujuan rehabilitasi dan pemeliharaan
terumbu karang. Program ini akan
menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran publik (public awarennes) tentang pentingnya kepedulian atas pelestarian
terumbu karang kepada warga pesisir dan stakeholder. Melalui program ini akan terbentuk pula
lembaga-lembaga maupun kelompok-kelompok di masyarakat yang dengannya akan
mendorong perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam rangka menjaga
kelestarian terumbu karang.
3.
Teori dan
Aplikasi Paradigma Post-Strukturalis
Post-strukturalis
mengandung pengertian kritik, post strukturalis juga menolak ide tentang
penciptaan struktur dan mempertanyakan siapa, negara-bangsa mana yang berhak
menentukan struktur kaya-miskin, maju-berkembang. Mengapa dan bagaimana negara-negara di Asia,
Afrika dan Amerika latin didefinisikan sebagai negara berkembang dan negara
dunia ketiga yang perlu dibangun dan perlu dimodernisasikan. Post-sturkturalis menekankan untuk membuat
narasi baru tentang pembangunan yang menurut aliran liberal dan marxis hanya
berfokus pada pembangunan fisik dan material.
Narasi baru tersebut tentang bagaimana negara-negara di Asia, Afrika dan
Amerika Latin mampu berkontribusi dalam konstruksi pengetahuan yang berlangsung
dalam peradaban manusia tanpa perlu memikirkan struktur maju-tertinggal atau modern-terbelakang. Kemudian intinya bagaimana sebuah negara-bangsa
berkontestasi dalam pengetahuan dan mampu mengkontruksi wacana karena
eksistensi bangsa bukan ditentukan oleh dunia material tetapi wacana ilmu
pengetahuan.
Sebagaimana pemikiran
Michael Foucoult sebagai seorang
post-strukturalis yang tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu
pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang
paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu
ekonomi kapitalis (Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas atau
bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan
yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan
kehidupan modern. Foucoult juga mengemukakan
pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling
berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Post-strukturalis didukung dua teori
yaitu post kolonialisme dan post-modernisme.
Menurut Edward bahwa pandangan-pandangan atau cara pikir yang menganggap
bahwa peradaban barat maju dan peradaban timur terbelakang adalah sesuatu yang
perlu diperdebatkan kebenarannya.
Kemunculan Post-kolonialis mengkritisi pandangan tentang pembedaan
peradaban yang merupakan sebuah belenggu kolonialisme pengetahuan sehingga
negara-negara berkembang mesti keluar dari bentuk penjajahan baru itu dan tidak
perlu mengejar peradaban barat.
Sedangkan post-modernisme menganjurkan bahwa narasi-narasi besar yang
dikembangkan dari teori modernism dan di klaim sebagai sebuah kebenaran
mestinya tidak diterima begitu saja, tetapi perlu mewacanakan narasi-narasi
kecil yang selama ini dipinggirkan.
Solusi yang ditawarkan post-strukturalis adalah bagaimana tiap-tiap
negara mendefinisikan sendiri mau kemana dan dengan cara bagaimana ia
berkembang serta merepresentasikan diri sesuai identitasnya sendiri tanpa terjebak
pada wacana-wacana yang dikemukakan dan didominasi negara maju.
Representasi
Diri dan Kontestasi Pengetahuan pada Desa Persawahan
Desa persawahan adalah tipe desa
yang lebih dulu mendapat perhatian dalam pembangunan daripada desa pedalaman
maupun desa pantai dan pesisir, sehingga ketika desa ini sudah bergairah dalam
perubahan, desa yang lain masih terlelap karena belum tersentuh pembangunan. Melalui desa persawahan ini pulalah presiden
Soeharto berani mewacanakan narasi besar tentang swasembada beras. Dengan pencanangan swasembada beras yang kemudian
digaungkan pada dunia membuktikan bahwa bangsa Indonesia mengkonstruksi sendiri
arah pembangunan dan merepresentasikan dirinya bukan lagi negara miskin.
Selain
representasi jati diri, desa persawahan menjadi entitas ajang kontestasi pengetahuan. Menyeruaknya pengetahuan lokal ke permukaan
telah mendobrak dominasi pengetahuan ilmiah yang datang dari luar. Pengetahuan lokal-asli yang dikuasai petani
dan warga desa secara umum tentang ekologi desanya, tentang bibit lokal asli,
tentang kelebihan bahan organik, tentang keuntungan penggunaan musuh alami,
tentang taksonomi tanaman, tentang teknologi tepat guna dan sebagainya, telah
semakin menemukan ruang representasinya.
Ini menjadikan perubahan sosial
pasca revolusi hijau mulai mengkontestasikan antara inovasi dari luar berbasis
pengetahuan ilmiah hasil penelitian dengan inovasi dari dalam berbasis
pengetahuan lokal hasil pengalaman sehari-hari masyarakat.
Inovasi dari Dalam Desa Pedalaman
Desa pedalaman
yang tertinggal dan terpinggirkan kadang memang tiada diperhitungkan dalam
arena kontes inovasi-ilmu pengetahuan, karena menurut Murray Li (2002)
pedalaman, pinggir hutan, dan dataran tinggi di Indonesia memang telah
mengalami konstruksi keterpinggiran sejak jaman kolonial hingga jaman pembangunan. Namun ketika inovasi dari luar yang
dihantarkan pemerintah kurang dominan berpengaruh, justru inovasi dari dalam
masyarakat sendiri amat signifikan mendorong perubahan, hal seperti inilah yang
merupakan bentuk aplikasi post- strukturalis dimana masyarakat
merepresentasikan diri berkontribusi
dalam pengetahuan. Sebagaimana kasus
perkembangan kakao dalam bentuk kebun rakyat di Sulawesi sebagai sebuah inovasi
dan wujud representasi dari masyarakat yang kemudian terpaparkan sebagai revolusi
hijau dataran tinggi. Inovasi dari desa
pedalaman muncul tiada henti seiring dengan munculnya permasalahan-permasalahan
yang harus mereka hadapi, sebagaimana ketika petani Halmahera Utara (1990-an)
menghadapi serangan perusak batang kakao (PBK).
Dalam rangka mengusir PBK petani kakao menggunakan semut merah, membuat
api kecil dari daun kelapa, membakar rumput atau ban bekas di antara baris
tanaman kakao menjelang matahari terbenam, atau mengecat buah kakao dengan
minyak. Petani juga berinovasi dengan
metode perladangan berpindah secara parsial, menanam kakao di perbukitan dan
menumpangsarikan kakao dengan kelapa sebagai strategi mengatasi serangan PBK.
Post-Strukturalisme
di Desa Pantai dan Pesisir
Desa pantai dan
pesisir terkonstruksi dalam struktur sosial yang paling menyajikan
kesenjangan, baik ditinjau dari
pembangunan fisik-materi maupun dalam kontestasi pengetahuan. Namun pada sebagian komunitas masyarakat
pantai dan pesisir terdapat komunitas pembuat perahu pinisi yang mencoba
merepresentasikan pengetahuan dan
keahlian lokal-asli mereka. Para pembuat
perahu dari desa ini terkenal dengan aplikasi pengetahuan simbolik, keahlian magis dan teknologi lokal
dalam membuat perahu pinisi menggunakan layar.
Seiring dengan tuntutan zaman, peranan perahu tradisional semakin mengalami
kemunduran bahkan menghilang dan kemudian
tergantikan dengan kapal bermesin. Namun
walau begitu mereka tetap memelihara identitas dan representasi diri untuk menunjukan
eksistensi desa komunitas pandai perahu pada dunia internasional. Mereka bahkan berpartisipasi pada ekspo
perahu tradisional di Vancouver (Kanada); membuat perahu untuk berbagai
ekspedisi penelusuran sejarah pelayaran kejayaan maritim masa lalu; dan memproduksi
perahu pelesir untuk turis Belanda, Amerika, Prancis, Kanada, Australia, Korea,
dan sebagainya.
Representasi desa
pantai dan pesisir tidak terbatas pada bagaimana mereka memelihara identitas
dan eksistensi sebagai desa komunitas pandai perahu. Bahkan dalam perspektif post-strukturalis mereka
berkontribusi dalam representasi diri dan perjuangan identitas desanya yang
secara sadar mesti mereka jalani di balik hegemoni pengetahuan dan identitas
yang terkonstruksi oleh mainstream
modernitas. Sebagaimana ketika Kabupaten
Wakatobi merepresentasikan dirinya secara sadar dalam panggung wacana dengan
kespesifikan identitasnya bahwa ia memiliki potensi surga di bawah laut berupa
simpang tiga karang dunia dengan keragaman hayati dan keindahan alam yang tidak
berbanding. Wakatobi juga menyatakan visi
daerahnya dalam formula “Mewujudkan surga nyata bawah laut di simpang tiga
karang dunia”. Visi tersebut kemudian
dicanangkan dalam mimpi jangka panjangnya untuk menjadi “pusat biodiversitas
dunia”. Begitu juga ketika Kabupaten
Raja Ampat (Papua Barat) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong menunjukan
eksistensinya dengan pemberitaan dimedia massa dan tayangan televisi mengenai diri
individu dan diri etnisnya, livelihood
komunitasnya, keindahan perairan dankekayaan hasil lautnya, serta keperkasaan
Opersiram Raja Ampatnya.
C.
KESIMPULAN
Desa di
Indonesia tidak bisa lagi sepenuhnya dilihat dalam perspektif simplisitas dan
keteraturan dalam arah gerak perubahan yang jelas arahnya (linearity). Saat ini,
dibalik simplisitas dan keteraturan desa terdapat kompleksitas dan
ketidakteraturan yang menyertainya dalam arah perubahan yang non linear bahkan cenderung kacau
(chaos). Seiring dengan realitas
kompleksitas dinamika desa dan kekacauan perubahan desa perlu direspon dengan
pemahaman dan aplikasi atas kompleksitas paradigma pembangunan. Paradigma Liberal, paradigma Marxis, dan
paradigma Post-Strukturalis perlu disubstansikan ke dalam intervensi perubahan
desa di Indonesia sesuai relevansi realitasnya, setelah itu perlu juga dilihat
interkoneksitas ketiganya dalam penerapan agar perubahan berlangsung lebih
efektif-efisien, lebih mencerahkan dan memberdayakan, serta lebih membuka
panggung bagi choices dan voices multi pihak.
Pembangunan desa
seyogyanya dijalankan tidak hanya untuk menjawab bagaimana desa berkembang
melalui kombinasi modal dan teknologi melalui peranan negara dan kebebasan
pasar (Liberaslisme). Pembangunan desa juga perlu menjawab bagaimana desa
berkembang dalam swakarsa/swadaya masyarakat dan tidak bergantung pada
kapitalisme (Marxisme). Bahkan
pembangunan desa juga harus menjawab bagaimana desa merepresentasikan diri dan
menegakkan identitasnya di antara entitas lain di tengah kontestasi pengetahuan
dan wacana yang berjalan (Post-Strukturalis).
Pembangunan
desa idealnya digerakan dengan metode yang tidak hanya mengandalkan keakuratan
data dan teori dalam keterkaitan input,
output, outcomes, benefit, dan impact
suatu intervensi, dengan kriteria pada kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi
dan persesuaian dengan mekanisme pasar (Liberalisme). Pembangunan desa juga idealnya digerakkan
dengan metode yang mengandalkan perjuangan kelas melalui advokasi kebijakan dan
perencanaan radikal, dengan kriteria pada berlangsungnya transformasi dalam
relasi sosial desa, bersaingnya kekuatan produksi desa/tani dan lahirnya
kesadaran kelas warga desa/tani (Marxisme).
Pembangunan desa juga bahkan idealnya digerakkan dengan metode yang
mendorong perubahan dalam praksis pengetahuan terkait desa, dengan kriteria
pada representasi/signifikasi desa sebagai produsen pengetahuan di tengah
pluralitas wacana yang berkembang (Post-Strukturalis).
Tabel Aplikasi
Paradigma Liberal, Marxis, dan Post-Strukturalis dalam Pembangunan
Desa/Perdesaan.
Isu
|
Paradigma
|
||
Teori Liberal
|
Teori Marxis
|
Teori
Post-strukturalis
|
|
Epistemologi
|
Positivistik/Pospositivistik
|
Realistik/Dialektik
|
Inperprevistik/konstrukstivistik
|
Konsep Kunci
|
Pasar/individualitas
|
Tata Produksi/Formasi Sosial
|
Makna bahasa/signifikasi
|
Subyek Kajian
|
Masyarakat, pasar, hak individual
|
Struktur sosial, relasi sosial,
ideologi
|
Representasi, wacana, kekuatan
pengetahuan
|
Aktor Relevan
|
Individu, lembaga negara
|
Kelas sosial, gerakan sosial, negara
(demokratik)
|
Komunitas lokal, ornop seluruh produsen
pengetahuan
|
Pertanyaan Pembangunan
|
Bagaimana desa/warga desa berkembang
melalui kombinasi modal dan teknologi serta tindakan individu dan negara
|
Bagaimana desa/warga desa
memperjuangkan kelas dan formasi sosialnya melalui kesadaran kelas dan daya organisir
diri.
|
Bagaimana desa/warga desa
merepresentasikan diri/identitas dalam kontestasi wacana dan pengetahuan
|
Kriteria Perubahan
|
Kemajuan teknologi, pertumbuhan
ekonomi dan penerimaan mekanisme padar pada masyarakat desa
|
Transformasi relasi sosial, pengembangan
kekuatan produksi, dan pengembangan kesadaran kelas pada masyarakat desa
|
Transformasi politik ekonomi atas
definisi kebenaran dan pluralitas wacana dalam masyarakat
|
Mekanisme Perubahan
|
Penggunaan teori dan data yang akurat
serta intervensi yang penuh perhitungan pada masyarakat desa
|
Perjuangan kelas sosial warga desa
secara advokatif dan radikal terhadap kebijakan dan rezim yang tidak adil
|
Perubahan dalam konstruksi
pengetahuan, produksi wacana dan praktek tindakan pada masyarakat desa
|
Peranan Kajian
|
Bagaimana kebudayaan desa memediasi
perkembangan dan menyesuaikan proyek dengan budaya lokal
|
Bagaimana aktor masyarakat desa
berhadapan dengan penetrasi kapitalisme dan memperjuangkan kelas sosialnya
|
Bagaimana desa sebagai produsen
pengetahuan menyesuaikan dan melawan pengetahuan dominan dan mengkreasi
pengetahuan sendiri.
|
DAFTAR PUSTAKA
Escobar,
A., 2010. Rural Transformations and
Development, China in Context.
Edward Elgar Publishing Limited: USA dan UK.
Salman, D.,2012,
Sosiologi Desa: Revolusi Senyap dan
Tarian Kompleksitas. Makkasar: Ininnawa.
Salman, D.,2005,
Reinvensi Paradigma Bagi Pembangunan:
Akhir Sains Modern dan Awal Sains Baru. Analisis, Maret 2005, Vol 2 No. 1:1-12
Blog Hannan
Harris, posting tgl 15 Juni 2012, Post Strukturalis dan Post Kolonialisme.
Blog Indah Meitasari – Sociolovers, diposting tgl 09 Juni 2012,
Hubungan secara konseptual
antara Strukturalis dan Pos-strukturalis.
[1] Ijo royo-royo, adalah bahasa
Jawa, untuk mengistilahkan “lebih dari sekedar hijau” atau menghijau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar