Rabu, 05 Februari 2014

TEORI DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN



MULTI PARADIGMA DALAM PEMBANGUNAN DESA
 (Wasidi, S2 PPW UNHAS)

A.    PENDAHULUAN

Seseorang bisa dikatakan mencari proses percepatan dalam menjemput kematian bila ia hanya diam-tiada bergerak tanpa melakukan perubahan walaupun qadha’ dan qadar telah digariskan oleh Tuhan, sebuah bangsa dan negara akan mendekatkan diri pada titik kehancuran ketika hanya pasrah kepada keadaan tanpa mengikuti gerak perkembangan zaman dengan segala tatanan komplesitasnya walaupun kejayaan dan kemunduran sebuah bangsa telah dituliskan Tuhan.  Namun usaha untuk merubah nasib kearah yang lebih baik adalah sebuah keniscayaan daripada malas-berpangku tangan kemudian musnah terlindas zaman yang tatanannya semakin tak terprediksikan.
Derap dan gaung perubahan inilah yang kemudian ditangkap oleh para ilmuwan untuk kemudian diwacanakan dan dikontribusikan dalam rangkaian kata “paradigma pembangunan” yaitu sebuah cara pandang yang mendasar terhadap suatu persoalan pembangunan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan  baik sebagai proses atau metode untuk mencapai peningkatan kualitas manusia dan kesejahteraan rakyat. Tetapi menjadi lain ceritanya ketika pemikiran paradigma pembangunan yang diusung para ilmuwan ini kemudian melenceng dalam pelaksanaan, dimana ketika suatu paradigma  direalisasikan justru kadang menimbulkan krisis multidimensional. Yaitu krisis yang melingkupi dimensi intelektual, moral dan spiritual yang kemudian menimbulkan kekawatiran akan keberlangsungan pembangunan karena ketiadaan harmonisasi sistem sosial dengan lingkungan ditandai dengan eksploitasi tanpa hati dan kurangnya kesadaran akan ketergantungan kehidupan kepada alam.
Menurut Escobar (2010), saat ini pandangan mendasar tentang substansi dan metode pembangunan dapat diklasifikasikan atas paradigma Liberal, paradigma Marxis dan paradigma Post-strukturalis.  Paradigma Liberal ditandai dengan kemunculan ide dan gagasan para ilmuwan yang tertuang dalam teori-teorinya setidaknya menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan dan ketertinggalan negara-negara dunia ketiga karena faktor internal negara-bangsa itu sendiri yang masih primitif dan terbelakang.  Untuk membongkar keprimitifan dalam rangka mengejar ketertinggalan, paradigma liberal menawarkan solusi dengan modernisasi dalam segala bidang, mengajarkan kebebasan pasar/swasta dengan memperkecil campur tangan negara/pemerintah dan membiarkan investor asing untuk masuk dan ikut mengelola sumber daya yang ada.  Namun dalam prakteknya teori modernisasi tidak sepenuhnya memberikan dampak kemajuan tapi justru menimbulkan masalah baru sebagaimana yang dialami Amerika Latin yang semakin tergantung akan bantuan luar negeri dan lembaga-lembaga donor keuangan internasional.  Kondisi seperti inilah yang kemudian dikoreksi dalam paradigma Marxis.  Teori dependensi mengkritisi langkah modernisasi yang harus dilalui negara berkembang dengan menawarkan terapi untuk tidak bergantung lagi dengan negara-negara pendonor, berani memutuskan bantuan dari negara maju dan berusaha untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. 
Kemunculan paradigma liberal dan paradigma marxis yang selama ini hanya berfokus membangun pada struktur  yang sifatnya fisik-material dan hasrat mengejar dunia barat yang diidentikan sebagai negara maju  dipertanyakan dalam paradigma Post-Strukturalis. Post-strukturalis lebih menganjurkan bagaimana merepresentasikan diri dengan mewacanakan ilmu pengetahuan (knowledge) tanpa harus terjebak untuk mengejar ketertinggalan.
Paradigma pembangunan yang digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan/menerangkan, menafsirkan dan mengintervensi sebuah gerak perubahan harus mampu menangkap makna kesederhanaan dan keteraturan disamping kompleksitas dan ketidakteraturan serta adanya nuansa ketidakjelasan arah.  Begitu juga aplikasi paradigma pembangunan yang berlangsung pada desa-desa di Indonesia entah itu desa persawahan dan dataran rendah, desa pedalaman dan dataran tinggi ataupun desa pantai dan pesisir dengan realitas gerak perubahan yang semakin sulit untuk ditarik kejelasan garis lurusnya karena proses evolusi dan akselerasi perubahannya tidaklah mungkin terwadahi dalam salah satu paradigma.  Dominasi satu paradigma saja tidak memungkinkan untuk mengelola sebuah desa sebagai entitas yang didalamnya tercakup hal-ihwal yang mendukung keberadaanya, karena tiap-tiap desa mempunyai ciri keberagaman yang berbeda-beda.

B.       PEMBAHASAN : Aplikasi Tiga Paradigma dalam Dinamika Perkembangan Desa

1.        Teori dan Aplikasi Paradigma Liberal
Sebab kemunculan paradigma liberal karena adanya fenomena kemiskinan di banyak negara dunia ketiga terutama setelah Perang Dunia II.  Dimana Jerman dan sekutu-sekutunya setelah mengalami kekalahan dalam perang perlu melakukan pemulihan kondisi, begitu juga negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang disebut sebagai negara dunia ketiga mengalami ketertinggalan dalam pembangunan. Hal ini yang kemudian menjadikan Amerika tergerak secara moral dan merasa bertanggungjawab untuk memulihkan kondisi negara-negara yang kalah perang dan negara-negara dunia ketiga yang diidentikkan sebagai negara miskin untuk mengejar negara maju.  Langkah Hendry Turman untuk memanggil para ilmuwan kemudian merumuskan apa yang perlu dilakukan oleh negara berkembang/tertinggal menjadi penyebab munculnya istilah ”development” yang dimaknai sebagai suatu perubahan yang direncanakan secara sistematis.  Kemudian Tahun 1946-1947 Amerika mendesain sebuah “Marsall Plan" yang diikuti dengan membentuk World Bank dan International Monetery Fund (IMF) sebagai lembaga/badan yang memberi suntikan bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang.  Bantuan dana inilah yang nantinya diharapkan dapat digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menggerakkan roda perekonomian dan melakukan langkah percepatan dalam pembangunan.
Untuk mendorong adanya pertumbuhan bagi negara berkembang , selain memberikan suntikan dana bantuan, paradigma liberal dengan teori modernisasinya menganjurkan perubahan pada semua aspek kehidupan.  Paradigma modernisasi berpandangan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan oleh ciri kultural dan sturktural internal masyarakat negara berkembang itu sendiri.  Maka pada dimensi kultural perlu pembenahan dan perubahan tradisi masyarakat.  Intinya adalah rasionalisasi, dimana dibutuhkan proses pengosongan alam pikir sehari-hari manusia dari hal-hal yang bersifat magic, mistik dan mitos diganti kearah rasionalitas dalam berpikir, lebih objektif dan bersifat empirik.  Agar rasionalisasi berlangsung cepat, ruang normatif yang rigid harus digeser ke ruang normatif yang elektif. 
Pada dimensi politik, perlunya keberanian untuk beralih dari tradisi politik yang bersifat feodal-kerajaan ke sistem republik-demokratis.  Pada dimensi sosiologis, agar masyarakat keluar dari ketertinggalan, modernisasi menekankan perlunya diferensiasi sosial, suatu proses dimana masyarakat mengalami spesialisasi fungsi dan lembaga yang dengan itu pencapaian tujuan berlangsung lebih efektif dan efisien (Neil J. Smelser, 1969). Pada dimensi psikologis, modernisasi mengharuskan adanya kelompok masyarakat yang  telah terbiasa hidup dalam dunia lemah, soft culture, dan rendah etos untuk memiliki motif berprestasi (need for achievement), karena dengan motif berprestasi  itu kelompok wiraswasta muncul dan menjadi penggerak ekonomi modern (McClelland, 1964).
Pada dimensi ekonomi muncul tokoh Walt Rostow (1960) yang menuangkan ide, gagasan dan pikirannya kemudian diwacanakan dan dikontribusikan untuk perubahan struktur ekonomi dalam suatu pentahapan terencana demi kemajuan negara-negara berkembang.    Rostow merumuskan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi di negara maju sebagaimana dalam bukunya: “The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”.  Dalam penelitiannya Rostow mengemukakan 5  (lima) langkah perkembangan yang dijalani negara-negara maju seperti Amerika, Perancis, Inggris dan Rusia, yaitu : Primitif, ditandai dengan ciri masyarakatnya yang masih primitif-kesukuan, penggunaan teknologi yang sederhana dan secara ekonomi penghasilannya hanya cukup untuk dikonsumsi; Pra Take-off, dengan ciri masyarakat tradisional namun secara ekonomi sebagian penghasilannya disisihkan untuk ditabung atau bahkan diinvestasikan walaupun dalam skala kecil-kecilan; Take-off,  dalam tahap ini terjadi pertumbuhan secara drastis-investasi lebih dari 10% setiap tahun yang kemudian mengakibatkan guncangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat.  Kesiapan masyarakat untuk tinggal landas dengan perubahan struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Fase Take-off ini dijalani kurang lebih selama 20-25 tahun; Pematangan Ekonomi, dimana setelah terjadi proses tinggal landas maka akan tercapai kematangan perekonomian yaitu ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya; High Mass Consumtion, dicirikan dengan kesejahteraan masyarakat yang ditandai tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi.  Teori ini diadopsi di Indonesia oleh Rezim Suharto dan diterapkan dalam era Orde Baru melalui REPELITA.  Pada masa pemerintahan Soeharto diberikan kebebasan para pelaku usaha-swasta untuk mengelola sumber daya yang ada. Maka dibuatlah Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing, sehingga investor asing masuk ke Indonesia dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. 
Agar transformasi ekonomi ini berlangsung, modernisasi menganjurkan negara berkembang diberi bantuan dana pembangunan untuk menggerakkan investasi. Dalam prakteknya, pembangunan ekonomi kemudian menjadi arus utama dari proses modernisasi.  Ideologi pembangunan yang dianut adalah pertumbuhan, efisiensi dan kompetisi; tujuan pembangunan lebih berfokus pada ekspansi produktivitas ekonomis; sasaran pembangunan pada pembenahan sumberdaya, pengembangan  teknologi dan perbaikan cara produksi; dimana unit operasional dari semua upaya pembangunan adalah level nasional.  Dengan modernisasi, pemasukan modal asing, pengembangan teknologi modern, perbaikan dan pengembangan prasarana, serta pengembangan pondasi ekonomi, ditempatkan sebagai sarana utama dari pembangunan.
Teori Kebutuhan Dasar melontarkan kritik terhadap teori modernisasi yang menekankan adanya pertumbuhan ekonomi karena didorong oleh modernisasi namun kenyataannya tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.  Pertumbuhan yang terjadi tidak bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat hanya dinikmati segelintir orang atau para pelaku usaha, maka kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan yang menjadi hak dasar setiap warga harus dijamin keterpenuhannya oleh negara.  Negara harus menciptakan kehidupan yang bermartabat dengan membuka akses atas sumber penghidupan seperti lapangan kerja dan lapangan usaha, menumbuhkan partisipasi sehingga masyarakat dapat andil dalam pengambilan keputusan, dan bebas dalam menyuarakan dan menentukan pilihan.  Argumentasi teoritis datang dari Paul Streeten (1981) bahwa selain tanah, uang dan mesin, pendidikan dan kesehatan diperlukan untuk memacu produktivitas nasional; bahwa sebagian besar penduduk miskin tidak memiliki harta selain badannya karena itu investasi SDM sangat logis; dan bahwa peningkatan pendapatan penduduk miskin memang hendaknya dibarengi dengan produksi barang dan jasa untuk konsumsi massa. Argumen ini diperkuat oleh ILO (1976) bahwa pembukaan lapangan kerja mutlak bagi negara berkembang tidak hanya karena alasan produktivitas tetapi karena bekerja dan mendapatkan nafkah memang merupakan hak dasar.
Laju pertumbuhan ekonomi yang menjadi main-stream paradigma modernisasi mendapat reaksi dari paradigma pembangunan berkelanjutan karena efek degradasi ekologis yang ditimbulkan.  Paradigma pembangunan berkelanjutan yang didukung  oleh pemikir post-modernism memiliki pandangan mendasar bahwa pertumbuhan ekonomi telah berefek pada eksploitasi sumberdaya yang melewati daya dukung bumi sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap ketidakberlanjutan Sumber Daya Alam dalam mendukung kehidupan.  Pembangunan hanya  terkesan untuk pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa memikirkan generasi akan datang yang pada kenyataannya ikut menanggung beban dan memikul tanggungjawab atas warisan utang negara. Maka agenda paradigma pembangunan berkelanjutan yang didukung teori entropi dan teori ekologi serta beberapa teori yang lain adalah bagaimana menahan laju pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam serta konservasi atas lingkungan/sumberdaya alam tersebut.

Revolusi Hijau Sebagai Modernisasi yang Mengguncang Desa Persawahan dan Dataran Rendah
Ada sepenggal cerita dari orang Arab yang pernah bertandang ke Indonesia dengan perasaan takjubnya akan keindahan alam Indonesia yang subur dan hijau, ia ungkapkan bahwa kalau ingin menyaksikan sebongkah tanah yang dikirim dari surga datanglah ke Indonesia.  Memang tidaklah dipungkiri dengan keberadaan negeri ini yang konon laksana untaian jamrud katulistiwa, kesuburan buminya bukanlah mitos lagi karena tongkat kayu yang dilempar saja bisa jadi tanaman - dan ini tidak akan ditemui di negeri Arab yang sejauh mata memandang hanya hamparan padang pasir belaka, yang kadangkala dalam teriknya siang menimbulkan efek tipuan alam yang mengesankan adanya air dari kejauhan namun realitasnya hanya fatamorgana.  Negeri Indonesia dengan dataran rendahnya dan desa persawahannya yang subur dan ijo royo-royo[1] memang tidak terlepas dari penerapan revolusi hijau sebagai bentuk intervensi dari paradigma liberal. 
Dari dimensi modernisasi ekonomi desa persawahan telah melakukan aplikasi inovasi dan perubahan teknologi melalui revolusi hijau, deret ukur pertumbuhan pangan dapat mengejar deret hitung pertumbuhan penduduk.  Satu ciri modernisasi ekonomi pada desa persawahan adalah revolusi hijau dan komersialisasi ekonomi yang merupakan jalur tepat bagi transformasi petani tradisional menjadi modern. Sedangkan aplikasi modernisasi budaya pada desa persawahan yaitu desa ini paling cepat mengenal tradisi luhur (great tradition) perkotaan dan mempertemukannya dengan  tradisi kecil (little tradition) dari desa, mereka inilah yang paling intensif dipengaruhi gaya hidup perkotaan dan memasuki alam pikir kosmopolitan. Sedangkan perwujudan modernisasi politik desa ini yang paling banyak dikunjungi pejabat, menjadi obyek penelitian, dan ajang perebutan suara para politikus.  Para penyuluh juga berusaha melakukan modernisasi psikologis terhadap petani melalui sebuah model diri petani (peasant model), begitu pula model tentang bagaimana penyuluhan untuk menghantarkan inovasi (adaption model).  Petani dibayangkan berada dalam budaya subsistensi denga ciri-ciri familisme tinggi, fatalistik, jauh dari inovasi, pandangannya terbatas tentang dunia, aspirasi rendah, empati rendah, kurang kritis dan sebagainya lalu ingin ditransformasi menuju ciri komersial melalui program penyuluhan.
Modernisasi telah membawa desa persawahan ini pada perubahan sosial-ekonomi-budaya.  Peningkatan produksi dan pendapatan telah berlangsung signifikan akibat nilai tambah dari penggunaan sarana dan teknologi pertanian modern.  Mobilitas ekonomi dan mobilitas sosial serta perubahan jarak ekonomi dan jarak sosial antar individu, golongan, strata dan kelas telah terjadi dan seiring dengan itu terjadi pula perubahan gaya hidup.  Perayaan swasembada beras yang mengiringi perayaan kemerdekaan merupakan wujud dari modernisasi bidang pertanian yang pada intinya pencapaian produk dan produktivitas padi sawah berlipat-lipat sebagai hasil penggunaan bibit unggul, pemberian pupuk sintetis dan aplikasi pestisida.
Aplikasi teori kebutuhan dasar juga nyata pada desa persawahan yang relatif terpenuhi kebutuhan infrastruktur dan pelayanan dasarnya.  Dibanding desa pedalaman dan dataran tinggi serta desa pesisir dan pantai; desa persawahan relatif terpenuhi kebutuhannya akan infrastruktur transportasi, energi, komunikasi, informasi, pasar dan perbankan, serta pelayanan pendidikan, kesehatan dan administrasi publik sehingga warga desa ini memiliki angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup dan akses ke luar wilayah yang lebih baik dibanding tipe desa lainnya.
Pada desa persawahan telah terhantarkan pula inovasi sosial dalam bentuk kelembagaan kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan), perkumpulan petani pemakai air (P3A), koperasi unit desa (KUD), badan usaha unit desa (BUUD), kelompok pendengar-pembaca- pirsawan (kelompencapir), kelompok masyarakat penerima bantuan IDT (pokmas IDT), kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan badan keswadayaan masyarakat (BKM).  Terbentuknya kelembagaan di desa ini diharapkan masyarakat mengalami spesialisasi fungsi dan lembaga.
Perubahan ekologi desa persawahan sebagai pusat revolusi hijau yaitu berlangsungnya manipulasi genetik melalui penggunaan vareitas hibrida dan bibit transgenik, manipulasi hara dalam tanah melalui penggunaan pupuk sintesis, serta manipulasi musuh alami bagi hama tanaman melalui aplikasi pestisida.  Semua ini berakibat pada ketercemaran tanah, air dan udara; perubahan struktur, tekstur dan porositas tanah; berkurangnya kualitas dan keragaman hayati; perubahan iklim mikro; dan keterkandungannya residu racun dalam tanah.  Gejala seperti ini akan menimbulkan resiko bagi keberlangsungan hidup manusia, maka aplikasi nyata dari teori pembangunan berkelanjutan melalui teori risk society dan modernisasi ekologi perlu diterapkan dengan penggunaan bibit lokal, pupuk organik, musuh alami bagi hama pengganggu tanaman, taksonomi tanaman dan penggunaan teknologi tepat guna.

Modernisasi pada Desa Pedalaman dan Dataran Tinggi yang Terpinggirkan
Desa pedalaman dan dataran tinggi yang diidentikan dengan keterpencilan dan ketidakmoderenan mengalami keterlambatan dalam menerima sentuhan pembangunan, karena mereka terpinggirkan oleh perubahan terencana dan tertinggal melibatkan diri dalam revolusi hijau yang digerakkan oleh pemerintah.  Namun demikian desa pedalaman dan dataran tinggi bukanlah etintas yang diam bahkan seiring dengan dinamika yang melanda desa tersebut telah terjadi proses transformasi sosial-ekonomi dan budaya hingga mendorong munculnya inovasi, baik yang dihantarkan oleh pihak pemerintah maupun dari dalam masyarakat sendiri.  Bahkan karena pengaruh modernisasi melalui revolusi hijau desa pedalaman, pinggiran hutan, dan dataran tinggi, maka terlihatlah pemandangan hijau segar karena tanaman cengkih, kakao, kopi, teh dan vanili yang ketika krisis akhir tahun 1990-an melanda, tanaman ini menjadi komoditas penyangga ekonomi perdesaan.
Teori modernisasi pun terwujudkan pada kasus di masyarakat Sulawesi Selatan tentang bagaimana mereka berinovasi dalam tanaman kakao.  Sehingga dapat dikatakan bahwa kakao telah mentransformasikan sistem sosial-ekonomi-budaya pedalaman, pinggir hutan dan dataran tinggi ke arah formasi sosial komersial-kapitalistik melalui perubahan besar oleh adopsi kakao tersebut.  Modernisasi untuk menanggulangi kerusakan ekologi berlangsung juga atas inovasi yang dihantarkan dari pihak pemerintah yaitu dalam hal mengatasi serangan perusak batang kakao (PBK).  Sistem yang dianjurkan adalah pemangkasan total yaitu pemangkasan dengan membuang cabang muda, dimana pohon dibiarkan hampir tanpa daun dan buah selama 12-18 bulan.  Ketidakefektifan sistem ini dilanjutkan inovasi yang lain melalui teknik sarungisasi/kondomisasi, dimana buah dibungkus dengan kantong plastik untuk mencegah serangga meletakkan telurnya pada buah dan mencegah larva masuk kedalamnya.  Berbagai inovasi lainnya juga ditempuh dengan melakukan rampasan dikombinasikan dengan penyemprotan sampai kemudian teknologi sambung samping dan penanaman kembali yang dimassalkan lewat proyek pemerintah.  Penurunan grafik produktivitas kakao semakin nyata terasakan dimana ketika pemanfaatannya hampir melampaui batas entropi dan mendekati titik kepunahan.  Meskipun berbagai upaya pemupukan, penyemprotan, penanggulangan hama diintensifkan namun hasil panen kakao dari pohon yang sudah menua semakin jauh dari yang diharapkan.  Disinilah peran pemerintah yang menginginkan adanya keberlanjutan pengembangan kakao mencerminkan pelaksanaan teori ecofeminisme/gender untuk mencapai keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi dengan memberikan bantuan untuk penanaman kembali (replanting) pada tahun 2006.  Maka bangkitlah kembali semangat petani untuk mengolah tanah, menebang pohon yang tidak produktif dan menggantinya dengan tanaman baru melalui dukungan bantuan dari pemerintah berupa mesin chain saw, linggis, parang, kawat berduri dan  bibit baru.
Teori pembangunan berkelanjutan nyata pada masyarakat desa pinggir hutan yang menggantungkan penghidupan pada hutan sebagai sumber mata pencaharian.  Karena pengaruh pertumbuhan populasi dan penetrasi kapitalisme serta fenomena kemiskinan yang mendera, mereka terpaksa melakukan pencurian, pengrusakan dan pembalakan liar.  Pembalakan liar yang dilakukan secara sadar oleh sebagian warga karena tekanan pemenuhan kebutuhan perekonomian akan berdampak buruk pada kelestarian hutan, dimana ketika hutan diambil manfaatnya secara serampangan hingga melampaui batas maka  akan terjadi akibat yang merugikan umat manusia sendiri, seperti turunnya binatang buas ke perkampungan, turunnya  segerombolan monyet  yang mencari makan di ladang maupun persawahan, dan yang lebih fatal lagi akan terjadi erosi dan banjir.  Guna  mengatasi deforestasi yang terjadi diperlukan perencanaan pengurusan hutan untuk menjaga kelestarian hutan dan mencapai kesejahteraan masyarakatnya.  Modernisasi teknologipun dimainkan guna menjamin keberlanjutan berbasis GIS  dan sistem komputer, aplikasi teknik lacak-balak dan sertifikasi ekolabel dalam penebangan dan perdagangan kayu.

Ketika Modernisasi Menyentuh Desa Pantai dan Pesisir
Desa pantai dan pesisir yang terkontruksi dalam keterpencilan geografis maupun sosial di balik ketertinggalan atas arus perubahan dan peradaban akhirnya seiring sepoi-sepoinya tiupan angin laut tersentuh juga oleh modernisasi.  Modernisasi terjadi melalui inovasi dari luar pada tahun 1980-an.  Ketika itu, nelayan tradisional-subsisten hendak ditransformasikan menjadi nelayan modern-komersial.  Pengoperasian alat tangkap sederhana hendak ditransformasikan menjadi alat tangkap canggih dengan jangkauan laut dalam.  Perahu tangkap tonase kecil menggunakan layar hendak ditransformasikan menjadi kapal tonase besar bermesin.  Pola patron-klien dalam kelembagaan sosial-ekonomi nelayan dalam kelompok kecil ditransformasikan menjadi organisasi formal dalam ikatan ekonomi-rasional.  Pemerintah lalu menghantarkan kredit modal produksi, alat tangkap danperahu modern.  Nelayan dikelompokkan dan KUD Mina dikembangkan sebagai wahana untuk mengakses sarana penangkapan, memasarkan hasil tangkap, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Inilah skenario revolusi biru sebuah perubahan produksi secara cepat dan radikal yang terjadi pada desa pantai dan pesisir. 
Beberapa contoh dari inovasi yang mereka lakukan adalah ketika nelayan Bulukumba Sulawesi Selatan mengadopsi teknologi bagan untuk menjinakkan ikan sebelum ditangkap; ketika tahun 1977 mereka mengadopsi teknologi rompong dan panja (gill-net); pada tahun 1980 nelayan Tanah Jaya mengadopsi teknologi gae (purse seine); pada 1995 mengadopsi rampong Taiwan dan membuat desain perahu yang menyediakan ruang penyimpan es-balok agar ikan tetap segar.  Kemudian modernisasi menyentuh pada beberapa peralatan manual yang digantikan dengan peralatan elektrik sehingga harapan mengubah cara kerja menjadi lebih efisien terwujud.
Teori ekologi dalam pembangunan berkelanjutan nyata dalam usaha masyarakat memelihara terumbu karang, pelarangan penggunaan bom, bius, tuba, pembuangan limbah rumah tangga dan reklamasi pantai.  Upaya ini sebagai wujud kepedulian dalam pelestarian terumbu karang, menjaga perariran dari ketercemaran, kerusakan hutan mangrove, keterbatasan biodiversitasnya, kemunduran daya produksinya, dan kelangkaan populasi ikan.

2.        Teori dan Aplikasi Paradigma Marxis
Dibawah paradigma modernisasi dengan main-stream pada pembangunan ekonomi,  kemajuan ekonomi kemudian dicapai negara berkembang. Tetapi, realitas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut sulit dipelihara keberlanjutannya, dan dalam pada itu fenomena ketergantungan semakin nyata,  realitas kemiskinan tetap persisten, degradasi lingkungan semakin terjadi, dan pada berbagai kasus muncul gejala dedemokratisasi. Dapat disimpulkan bahwa dengan paradigma modernisasi pertumbuhan ekonomi negara berkembang dapat dibenahi, tetapi di balik itu berbagai masalah baru muncul, dan beberapa masalah lama juga tetap tidak bisa dibenahi. Artinya, dengan meminjam pemikiran Kuhn (1962) tentang revolusi paradigma, dalam berbagai aspek paradigma modernisasi telah mengalami anomali bahkan menuju fase krisis, dan karena itu muncul paradigma baru. 
Paradigma Marxis didukung para pemikir post modernism yang kemudian mengkritisi paradigma liberal karena ternyata bantuan dari negara maju dilakukan dengan setengah hati dan dibalik itu tersembunyi maksud untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri. Efek bantuan yang dikucurkan tidak tercapai secara optimal karena keharusan untuk mengembalikan pinjaman dan membayar bunga utang, membeli teknologi dan tenaga ahli dari negara pendonor serta terjadinya eksploitasi sumber daya alam secara serampangan tanpa memikirkan generasi mendatang.
Modernisasi yang dilakoni Amerika Latin tanpa membawa arah positif dalam perubahan bahkan terkesan stagnan karena penyebab faktor eksternal, ketidakadilan dan eksploitasi dalam hubungan internasional menuai kritik dari para pemikir marxisme.  Reaksi yang muncul diantaranya melalui teori dependensi klasik yang  mengemukakan adanya dua kelompok negara di dunia yakni negara inti dan negara pinggiran.  Menurut A.G. Frank (1967) akar dari kemiskinan dan keterbelakangan adalah eksploitasi yang dilakukan oleh negara inti kepada negara pinggiran.  Kemudian dari model inti-pinggiran tersebut tercipta sistem pembagian kerja internasional, dimana negara inti memproduksi komoditas industri yang nilai tambah dan spin-offnya tinggi sedangkan negara pinggiran memproduksi produk pertanian yang nilai tambah dan spin-offnya rendah.  Teori dependensi juga berpandangan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan oleh penghisapan surplus atas negara pinggiran melalui pengembalian bantuan kapital, teknologi dan SDM (Dos Santos, 1971). Teori-teori ini merekomendasikan bahwa kalau kemiskinan dan keterbelakangan ingin dihapuskan, maka negara pinggiran harus memutuskan hubungan dengan negara inti. 
Teori dependensi baru lebih moderat dalam melihat hubungan eksploitatif negara berkembang dengan negara maju. Hopkins dan Wallerstein (1977) melihat bahwa hubungan inti-pinggiran bersifat dinamis. Sebuah negara pinggiran tidak selalu berposisi pinggiran, ia dapat maju menjadi negara semi-pinggiran bahkan menjadi negara inti. Penganjur teori dependensi baru (Cardoso,1973; Warren, 1980; dan Evans, 1981) juga melihat bahwa hubungan inti-pinggiran sebenarnya tidak sejelek yang digambarkan teori dependensi klasik, karena dalam kondisi bergantung negara berkembang dapat mencapai berbagai kemajuan dalam industrialisasi. 
Solusi yang ditawarkan dalam aliran dependensi adalah jangan tergantung dengan bantuan investasi maupun teknologi negara maju, berani mengambil keputusan untuk memutuskan bantuan dan mengelola sendiri sumber daya alam secara mandiri.  Pada masa rezim Soekarno teori ini diterapkan melalui spirit berdiri diatas kaki sendiri (berdikari).  Soekarno tidak ingin bergantung dari bantuan negara-negara maju, tetapi lebih lebih percaya pada daya dan kemampuan bangsa sendiri untuk mengelola sumber daya alam Indonesia.
Teori pembebasan pada paradigma marxis lahir dengan pandangan mendasar bahwa pembangunan mestinya identik dengan proses pembebasan manusia dari ketertindasan dan ini tidak mampu dilakukan oleh paradigma liberal, bahkan paradigma modernisasi pembangunan muncul dengan wajah hegemonik, sehingga aspirasi dan tindakan yang bertentangan dengannya ditindas “oleh dan atas nama” pembangunan itu sendiri.  Ideologi dari paradigma ini adalah pembebasan, demokratisasi, partisipasi warga, dan kemandirian atau kemampuan menolong diri sendiri.  Paradigma pembebasan didukung oleh teori-teori pembangunan partisipatoris, terutama teori pembangunan masyarakat (community development), pengorganisasian masyarakat (community organisation) dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment).  Didalamnya proses penyadaran dan pengorganisasian merupakan tahapan penting agar dengan itu tindakan kolektif dapat bangkit untuk suatu transformasi sosial.  Para pelaku pembangunan bagi paradigma ini adalah LSM dan publik, dengan unit operasional yang bergerak dari level lokal ke level nasional.

Mengangkat Harkat-Martabat Manusia Melalui Revolusi Hijau Desa Persawahan dan Dataran Rendah
Pembebasan manusia demi harkat dan martabat dilakukan oleh presiden Soeharto dengan Orde Barunya melalui revolusi hijau dan merealisasikan spirit dengan makan di atas produksi sendiri (swasembada beras).  Harkat terendah dari sebuah rumah tangga, negara-bangsa, adalah saat kebutuhan pangannya tidak mampu ia penuhi sendiri.  Swasembada beras telah mengangkat bangsa Indonesia melewati ambang terendah dari harkat tersebut.  Swasembada beras adalah cara bangsa Indonesia membuka katarsis bagi warganya untuk keluar dari kerendahan diri sebagai bangsa pemakan jagung.  Ketika sekian lama jagung identik dengan kemiskinan/kepapaan/kemelaratan/status sosial rendah.  Produksi beras yang melimpah ruah dan keberhasilan warga makan beras, seakan sudah membebaskan warga dari kemiskinan dan kenestapaan, membebaskan warga dari penindasan harkat dan martabat karena status sosial rendah yang sekian lama disandang.
Memasuki Tahun 1990-an Teori Community Empowerment teraplikasi pada desa persawahan dataran rendah, dimana desa ini menjadi bagian dari intensifikasi program pemberdayaan masyarakat.  Berawal dari Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pada akhir 1990-an, dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada awal 2000-an, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), serta berbagai program yang dihantarkan donor melalui LSM dan konsultan; menempatkan desa sebagai arena bagi fasilitator komunitas untuk proses penyadaran, pengorganisasian, dan pengelolaan sumberdaya secara partisipatoris dan berbasis komunitas.  Pendekatan sektoral yakni pembangunan pertanian digeser oleh pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan.  Pendekatan ini melibatkan ratusan ribu tenaga fasilitator bergelar sarjana, memberdayakan jutaan warga desa sebagai pengurus organisasi keswadayaan, menghantarkan ratusan milyar rupiah dana pemberdayaan ke desa, serta menjalankan ribuan kegiatan bidang ekonomi, sosial, fisik dan lingkungan yang dikelola oleh organisasi keswadayaan masyarakat desa.  Bersama ini terjadi pula pengangkatan harkat dan martabat manusia karena perubahan status sosial dimana sejumlah warga menjadi PNS sebagai aparatur desa, kelurahan, kecamatan dan kabupaten, serta puluhan ribu warga desa menjadi pegawai honorer kantor desa ataupun pengurus Badan Permusyawaratan Desa.

Pembebasan dan Pemberdayaan Desa Pedalaman dan Dataran Tinggi
Desa pedalaman, dataran tinggi dan pinggiran hutan adalah desa yang sunyi dalam perbincangan, dimana manusia warga desanya bergulat dalam penderitaan dan seakan terlelap dalam kepasrahan karena ketertinggalan dalam pembangunan.  Namun dari sinilah terbangkitkan niat untuk mengangkat harkat-martabat yang terendahkan karena sebagian dari warganya pada tahun 1970-1980-an berhasil menembus kebebasan dan keluar dari keterbatasan dengan memperoleh gelar kesarjanaan.  Mereka mengukuhkan keinginan, datang dan menumpang di ibukota kabupaten untuk bersekolah SMP dan SMA, di ibukota provinsi untuk kuliah di perguruan tinggi, sambil terus merasai penanda sebagai orang pedalaman dan orang gunung.
Paradigma pembebasan didukung oleh teori-teori pembangunan partisipatoris, terutama teori pembangunan masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan masyarakat nampak pada desa pinggiran hutan sebagaimana kasus yang terjadi di Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.  Penanganan kasus illegal logging kawasan hutan jati yang mengancam kelestarian hutan melalui pemberdayaan masyarakat pada 4 kecamatan dan 46 desa sekitar hutan.  Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan digerakkannya kelompok di tiap desa, jaringan kelompok di tingkat kecamatan, federasi kelompok tingkat kabupaten, dan kelembagaan koperasi sebagai wadah aktivitas ekonomi.  Kontribusi multi pihak telah berlangsung mulai dari pemerintah kabupaten hingga kementrian pada dunia pemerintahan; mulai dari LSM lokal hingga perguruan tinggi dan jaringan LSM internasional pada dunia civil society; mulai dari usaha kayu lokal hingga perdanggangan kayu internasional pada dunia swasta; serta berbagai lembaga donor.  Inilah inovasi sosial yang lahir; sentuhan antara keberdayaan masyarakat desa dengan multi pihak luar desa dalam pengurusan hutan.
Walaupun dalam konstruksi sosial-budaya dan politik-ekonomi menempatkan desa pedalaman, dataran tinggi dan pinggir hutan sebagai pinggiran, namun karena sistem dinamik, desa ini tengah berproses menjadi pusat.  Ditengah berlangsungnya narasi besar tentang kemoderenan budaya, keriuhan kemegahan kota, hiruk pikuk demokrasi politik dan globalisasi ekonomi, desa pedalaman, dataran tinggi dan pinggir hutan tengah membangun narasi-narasi kecil perubahan dari keterpinggiran menuju inti-pusat.

Narasi Kecil Pemberdayaan Masyarakat Desa Pantai dan Pesisir
Dinamika desa pantai dan pesisir juga telah bergerak melalui narasi kecil pemberdayaan masyarakat (community empowerment).  Jalur pemberdayaan masyarakat pesisir dan pantai diimplementasikan melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP).
Tujuan dari PEMP adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas SDM, dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi, dengan mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan. 
Dalam pemberdayaan ini setidaknya berlangsung empat kegiatan inti bagi lahirnya inovasi teknis dan kelembagaan di desa pantai dan pesisir.  Pertama, fasilitasi terbentuknya Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP M3) yang mengelola dana ekonomi produktif yang dimanfaatkan oleh kelompok usaha produktif desa pesisir.  Kedua, pengembangan usaha ekonomi produktif oleh kelompok penangkap ikan, pembudidaya ikan, pengolahan ikan, pemasaran ikan, penyedia jasa perbengkelan dan jasa sarana produksi lainnya.  Ketiga, pelatihan SDM dan penguatan kapasitas kelembagaan desa pesisir, khususnya dalam peningkatan motivasi dan kerja sama kelompok.  Keempat, pengembangan model pemberdayaan pasca pendampingan, yang diarahkan pada pengembangan jaringan usaha antara masyarakat pesisir dengan kelompok lain. LSM, swasta dan pemerintah daerah.  Keseluruhan kegiatan ini dikelola oleh multi pihak, yaitu : pihak pemerintah baik pusat maupun daerah; konsultan manajemen (LPSM, perguruan tinggi dan jasa konsultan); tenaga pendamping desa (TPD). 
Sementara COREMAP adalah program pemberdayaan masyarakat pantai dan pesisir yang bertujuan rehabilitasi dan pemeliharaan terumbu karang.  Program ini akan menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran publik (public awarennes) tentang pentingnya kepedulian atas pelestarian terumbu karang kepada warga pesisir dan stakeholder.  Melalui program ini akan terbentuk pula lembaga-lembaga maupun kelompok-kelompok di masyarakat yang dengannya akan mendorong perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam rangka menjaga kelestarian terumbu karang.

3.        Teori dan Aplikasi Paradigma Post-Strukturalis
Post-strukturalis mengandung pengertian kritik, post strukturalis juga menolak ide tentang penciptaan struktur dan mempertanyakan siapa, negara-bangsa mana yang berhak menentukan struktur kaya-miskin, maju-berkembang.  Mengapa dan bagaimana negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika latin didefinisikan sebagai negara berkembang dan negara dunia ketiga yang perlu dibangun dan perlu dimodernisasikan.  Post-sturkturalis menekankan untuk membuat narasi baru tentang pembangunan yang menurut aliran liberal dan marxis hanya berfokus pada pembangunan fisik dan material.  Narasi baru tersebut tentang bagaimana negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin mampu berkontribusi dalam konstruksi pengetahuan yang berlangsung dalam peradaban manusia tanpa perlu memikirkan struktur maju-tertinggal atau modern-terbelakang.  Kemudian intinya bagaimana sebuah negara-bangsa berkontestasi dalam pengetahuan dan mampu mengkontruksi wacana karena eksistensi bangsa bukan ditentukan oleh dunia material tetapi wacana ilmu pengetahuan. 
Sebagaimana pemikiran Michael Foucoult sebagai seorang post-strukturalis yang tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu bentuk baru solidaritas atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.  Foucoult juga mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.
Post-strukturalis didukung dua teori yaitu post kolonialisme dan post-modernisme.  Menurut Edward bahwa pandangan-pandangan atau cara pikir yang menganggap bahwa peradaban barat maju dan peradaban timur terbelakang adalah sesuatu yang perlu diperdebatkan kebenarannya.  Kemunculan Post-kolonialis mengkritisi pandangan tentang pembedaan peradaban yang merupakan sebuah belenggu kolonialisme pengetahuan sehingga negara-negara berkembang mesti keluar dari bentuk penjajahan baru itu dan tidak perlu mengejar peradaban barat.  Sedangkan post-modernisme menganjurkan bahwa narasi-narasi besar yang dikembangkan dari teori modernism dan di klaim sebagai sebuah kebenaran mestinya tidak diterima begitu saja, tetapi perlu mewacanakan narasi-narasi kecil yang selama ini dipinggirkan.  Solusi yang ditawarkan post-strukturalis adalah bagaimana tiap-tiap negara mendefinisikan sendiri mau kemana dan dengan cara bagaimana ia berkembang serta merepresentasikan diri sesuai identitasnya sendiri tanpa terjebak pada wacana-wacana yang dikemukakan dan didominasi negara maju.

Representasi Diri dan Kontestasi Pengetahuan pada Desa Persawahan
Desa persawahan adalah tipe desa yang lebih dulu mendapat perhatian dalam pembangunan daripada desa pedalaman maupun desa pantai dan pesisir, sehingga ketika desa ini sudah bergairah dalam perubahan, desa yang lain masih terlelap karena belum tersentuh pembangunan.  Melalui desa persawahan ini pulalah presiden Soeharto berani mewacanakan narasi besar tentang swasembada beras.  Dengan pencanangan swasembada beras yang kemudian digaungkan pada dunia membuktikan bahwa bangsa Indonesia mengkonstruksi sendiri arah pembangunan dan merepresentasikan dirinya bukan lagi negara miskin. 
Selain representasi jati diri, desa persawahan menjadi entitas ajang kontestasi pengetahuan.  Menyeruaknya pengetahuan lokal ke permukaan telah mendobrak dominasi pengetahuan ilmiah yang datang dari luar.  Pengetahuan lokal-asli yang dikuasai petani dan warga desa secara umum tentang ekologi desanya, tentang bibit lokal asli, tentang kelebihan bahan organik, tentang keuntungan penggunaan musuh alami, tentang taksonomi tanaman, tentang teknologi tepat guna dan sebagainya, telah semakin menemukan ruang representasinya.  Ini  menjadikan perubahan sosial pasca revolusi hijau mulai mengkontestasikan antara inovasi dari luar berbasis pengetahuan ilmiah hasil penelitian dengan inovasi dari dalam berbasis pengetahuan lokal hasil pengalaman sehari-hari masyarakat.

Inovasi dari Dalam Desa Pedalaman
Desa pedalaman yang tertinggal dan terpinggirkan kadang memang tiada diperhitungkan dalam arena kontes inovasi-ilmu pengetahuan, karena menurut Murray Li (2002) pedalaman, pinggir hutan, dan dataran tinggi di Indonesia memang telah mengalami konstruksi keterpinggiran sejak jaman kolonial hingga jaman pembangunan.  Namun ketika inovasi dari luar yang dihantarkan pemerintah kurang dominan berpengaruh, justru inovasi dari dalam masyarakat sendiri amat signifikan mendorong perubahan, hal seperti inilah yang merupakan bentuk aplikasi post- strukturalis dimana masyarakat merepresentasikan diri  berkontribusi dalam pengetahuan.  Sebagaimana kasus perkembangan kakao dalam bentuk kebun rakyat di Sulawesi sebagai sebuah inovasi dan wujud representasi dari masyarakat yang kemudian terpaparkan sebagai revolusi hijau dataran tinggi.  Inovasi dari desa pedalaman muncul tiada henti seiring dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang harus mereka hadapi, sebagaimana ketika petani Halmahera Utara (1990-an) menghadapi serangan perusak batang kakao (PBK).  Dalam rangka mengusir PBK petani kakao menggunakan semut merah, membuat api kecil dari daun kelapa, membakar rumput atau ban bekas di antara baris tanaman kakao menjelang matahari terbenam, atau mengecat buah kakao dengan minyak.  Petani juga berinovasi dengan metode perladangan berpindah secara parsial, menanam kakao di perbukitan dan menumpangsarikan kakao dengan kelapa sebagai strategi mengatasi serangan PBK.

Post-Strukturalisme di Desa Pantai dan Pesisir
Desa pantai dan pesisir terkonstruksi dalam struktur sosial yang paling menyajikan kesenjangan,  baik ditinjau dari pembangunan fisik-materi maupun dalam kontestasi pengetahuan.  Namun pada sebagian komunitas masyarakat pantai dan pesisir terdapat komunitas pembuat perahu pinisi yang mencoba merepresentasikan  pengetahuan dan keahlian lokal-asli mereka.  Para pembuat perahu dari desa ini terkenal dengan aplikasi pengetahuan  simbolik, keahlian magis dan teknologi lokal dalam membuat perahu pinisi menggunakan layar.  Seiring dengan tuntutan zaman,  peranan perahu tradisional semakin mengalami kemunduran  bahkan menghilang dan kemudian tergantikan dengan kapal bermesin.  Namun walau begitu mereka tetap memelihara identitas dan representasi diri untuk menunjukan eksistensi desa komunitas pandai perahu pada dunia internasional.  Mereka bahkan berpartisipasi pada ekspo perahu tradisional di Vancouver (Kanada); membuat perahu untuk berbagai ekspedisi penelusuran sejarah pelayaran kejayaan maritim masa lalu; dan memproduksi perahu pelesir untuk turis Belanda, Amerika, Prancis, Kanada, Australia, Korea, dan sebagainya.
Representasi desa pantai dan pesisir tidak terbatas pada bagaimana mereka memelihara identitas dan eksistensi sebagai desa komunitas pandai perahu.  Bahkan dalam perspektif post-strukturalis mereka berkontribusi dalam representasi diri dan perjuangan identitas desanya yang secara sadar mesti mereka jalani di balik hegemoni pengetahuan dan identitas yang terkonstruksi oleh mainstream modernitas.  Sebagaimana ketika Kabupaten Wakatobi merepresentasikan dirinya secara sadar dalam panggung wacana dengan kespesifikan identitasnya bahwa ia memiliki potensi surga di bawah laut berupa simpang tiga karang dunia dengan keragaman hayati dan keindahan alam yang tidak berbanding.  Wakatobi juga menyatakan visi daerahnya dalam formula “Mewujudkan surga nyata bawah laut di simpang tiga karang dunia”.  Visi tersebut kemudian dicanangkan dalam mimpi jangka panjangnya untuk menjadi “pusat biodiversitas dunia”.  Begitu juga ketika Kabupaten Raja Ampat (Papua Barat) yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong menunjukan eksistensinya dengan pemberitaan dimedia massa dan tayangan televisi mengenai diri individu dan diri etnisnya, livelihood komunitasnya, keindahan perairan dankekayaan hasil lautnya, serta keperkasaan Opersiram Raja Ampatnya. 

C.      KESIMPULAN
Desa di Indonesia tidak bisa lagi sepenuhnya dilihat dalam perspektif simplisitas dan keteraturan dalam arah gerak perubahan yang jelas arahnya (linearity).  Saat ini, dibalik simplisitas dan keteraturan desa terdapat kompleksitas dan ketidakteraturan yang menyertainya dalam arah perubahan yang non linear bahkan cenderung kacau (chaos).  Seiring dengan realitas kompleksitas dinamika desa dan kekacauan perubahan desa perlu direspon dengan pemahaman dan aplikasi atas kompleksitas paradigma pembangunan.  Paradigma Liberal, paradigma Marxis, dan paradigma Post-Strukturalis perlu disubstansikan ke dalam intervensi perubahan desa di Indonesia sesuai relevansi realitasnya, setelah itu perlu juga dilihat interkoneksitas ketiganya dalam penerapan agar perubahan berlangsung lebih efektif-efisien, lebih mencerahkan dan memberdayakan, serta lebih membuka panggung bagi choices dan voices multi pihak.
Pembangunan desa seyogyanya dijalankan tidak hanya untuk menjawab bagaimana desa berkembang melalui kombinasi modal dan teknologi melalui peranan negara dan kebebasan pasar (Liberaslisme). Pembangunan desa juga perlu menjawab bagaimana desa berkembang dalam swakarsa/swadaya masyarakat dan tidak bergantung pada kapitalisme (Marxisme).  Bahkan pembangunan desa juga harus menjawab bagaimana desa merepresentasikan diri dan menegakkan identitasnya di antara entitas lain di tengah kontestasi pengetahuan dan wacana yang berjalan (Post-Strukturalis).
Pembangunan desa idealnya digerakan dengan metode yang tidak hanya mengandalkan keakuratan data dan teori dalam keterkaitan input, output, outcomes, benefit, dan impact suatu intervensi, dengan kriteria pada kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi dan persesuaian dengan mekanisme pasar (Liberalisme).  Pembangunan desa juga idealnya digerakkan dengan metode yang mengandalkan perjuangan kelas melalui advokasi kebijakan dan perencanaan radikal, dengan kriteria pada berlangsungnya transformasi dalam relasi sosial desa, bersaingnya kekuatan produksi desa/tani dan lahirnya kesadaran kelas warga desa/tani (Marxisme).  Pembangunan desa juga bahkan idealnya digerakkan dengan metode yang mendorong perubahan dalam praksis pengetahuan terkait desa, dengan kriteria pada representasi/signifikasi desa sebagai produsen pengetahuan di tengah pluralitas wacana yang berkembang (Post-Strukturalis).
Tabel Aplikasi Paradigma Liberal, Marxis, dan Post-Strukturalis dalam Pembangunan Desa/Perdesaan.

Isu
Paradigma
Teori Liberal
Teori Marxis
Teori Post-strukturalis
Epistemologi
Positivistik/Pospositivistik
Realistik/Dialektik
Inperprevistik/konstrukstivistik
Konsep Kunci
Pasar/individualitas
Tata Produksi/Formasi Sosial
Makna bahasa/signifikasi
Subyek Kajian
Masyarakat, pasar, hak individual
Struktur sosial, relasi sosial, ideologi
Representasi, wacana, kekuatan pengetahuan
Aktor Relevan
Individu, lembaga negara
Kelas sosial, gerakan sosial, negara (demokratik)
Komunitas lokal, ornop seluruh produsen pengetahuan
Pertanyaan Pembangunan
Bagaimana desa/warga desa berkembang melalui kombinasi modal dan teknologi serta tindakan individu dan negara
Bagaimana desa/warga desa memperjuangkan kelas dan formasi sosialnya melalui kesadaran kelas dan daya organisir diri.
Bagaimana desa/warga desa merepresentasikan diri/identitas dalam kontestasi wacana dan pengetahuan
Kriteria Perubahan
Kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi dan penerimaan mekanisme padar pada masyarakat desa
Transformasi relasi sosial, pengembangan kekuatan produksi, dan pengembangan kesadaran kelas pada masyarakat desa
Transformasi politik ekonomi atas definisi kebenaran dan pluralitas wacana dalam masyarakat
Mekanisme Perubahan
Penggunaan teori dan data yang akurat serta intervensi yang penuh perhitungan pada masyarakat desa
Perjuangan kelas sosial warga desa secara advokatif dan radikal terhadap kebijakan dan rezim yang tidak adil
Perubahan dalam konstruksi pengetahuan, produksi wacana dan praktek tindakan pada masyarakat desa
Peranan Kajian
Bagaimana kebudayaan desa memediasi perkembangan dan menyesuaikan proyek dengan budaya lokal
Bagaimana aktor masyarakat desa berhadapan dengan penetrasi kapitalisme dan memperjuangkan kelas sosialnya
Bagaimana desa sebagai produsen pengetahuan menyesuaikan dan melawan pengetahuan dominan dan mengkreasi pengetahuan sendiri.

DAFTAR PUSTAKA


Escobar, A., 2010. Rural Transformations and Development, China in Context.  Edward Elgar Publishing Limited: USA dan UK.
Salman, D.,2012, Sosiologi Desa: Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas. Makkasar: Ininnawa.
Salman, D.,2005, Reinvensi Paradigma Bagi Pembangunan: Akhir Sains Modern dan Awal Sains Baru. Analisis,  Maret 2005, Vol 2 No. 1:1-12
Blog Hannan Harris, posting tgl 15 Juni 2012,  Post Strukturalis dan Post Kolonialisme.
Blog Indah Meitasari – Sociolovers, diposting tgl 09 Juni 2012, Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis.


[1] Ijo royo-royo, adalah bahasa Jawa, untuk mengistilahkan “lebih dari sekedar hijau” atau menghijau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar