Pengantar
Dalam jurnal “Community
Development in Indonesia : Westernization or Doing It Their Way?” dipaparkan tentang tesis westernisasi, penggambaran
hasil studi pada proyek pengembangan
masyarakat di Indonesia, penyelidikan
elemen-elemen yang mungkin dianggap sebagai
suatu bentuk pembaratan dan dominasi pandangan dan
kekuatan barat dalam perspektif pengembangan
masyarakat.
Bila
mengacu pada tesis westernisasi, bahwa program pengembangan adalah perwujudan
dari kekuatan hegemoni Barat. Maka
memunculkan respon ganda yang mana pada satu sisi mengasumsikan bahwa
‘westernisasi” adalah suatu wacana yang bermasalah, perlu diperiksa dan
diselidiki, khususnya arti istilah kebarat-baratan, dan mengapa
“westernisasi”. Sedangkan respon lain
adalah untuk mempertimbangkan argumen tentang westernisasi secara empirik.
Berikut
ulasan dan tanggapan atas Tesis Westernisasi, Westernisasi sebagai Pembangunan Ekonomi
dan Modernitas, Kewarganegaraan Aktif - Hak Asasi Manusia, Masyarakat
Sipil dan Demokrasi, Studi
Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia, serta Pembaratan Organisasi.
A. Tesis Westernisasi
Deskripsi
'Barat' dan pengkarakterisasian “orang
Barat' sangat berkaitan dengan sejarah yang
kompleks. Revolusi ilmiah, pemikiran sosial-ekonomi baru dan konfigurasi
politik telah membawa perubahan besar dalam bagaimana orang “Barat” menjalani
hidup mereka. Perluasan daerah koloni Eropa pada abad kesembilan belas, juga
telah mengakarkan pandangan tentang dominasi barat sebagai negara bangsa yang “beradab”, sedangkan
negara bangsa di luar barat “kurang atau tidak beradab”. Kemudian pada paruh
kedua abad kedua puluh, “Barat” mewacanakan dirinya sebagai “dunia pertama” dari global Utara, sedangkan
'dunia ketiga' dicirikan bagi negara-negara
berkembang dari global Selatan yang merana, miskin dan terbelakang. Melalui kekuatan politik “barat” telah mampu mengaburkan perbedaan signifikan
antar negara. Misalnya, wujud perhatian dalam mendukung pembangunan bangsa dunia
ketiga oleh negara dunia pertama. Mungkin ini juga merupakan bentuk
pengkarakterisasian bahwa ”cara Barat” unggul dalam segala hal.
Tidak
dipungkiri, realitasnya Barat memang tampil dalam percaturan dunia sebagai
negara bangsa yang maju lebih dulu dan unggul dalam pembangunan sehingga mampu mendominasi
dalam sistem ekonomi kapitalis berserta nilai-nilainya, keyakinan, praktik dan bentuk organisasi
sosial dan politik yang diidentifikasi dengan modernitas, perkembangan warga
negara yang aktif, didasarkan pada hak asasi manusia, masyarakat sipil dan
demokrasi. Nilai-nilai dalam teori para
ahli Barat inilah yang kemudian disodorkan kepada negara-negara berkembang
untuk dijadikan kiblat dalam segala bidang.
B. Westernisasi dalam Pembangunan Ekonomi
dan Modernitas
Sebuah
pandangan dalam kerangka evolusi bahwa masyarakat dapat dievaluasi berdasar pada
tingkat pembangunan ekonominya. Pencirian masyarakat maju adalah mereka yang
paling cepat dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonominya. Pada masyarakat ini berlaku
sistem pasar yang kompetitif dan produktif dalam hal barang dan jasa, diukur berdasarkan
produk nasional bruto. Pada dimensi pembangunan
ekonomi muncul tokoh Walt Rostow (1960) yang menuangkan ide, gagasan dan
pikirannya kemudian diwacanakan dan dikontribusikan untuk perubahan struktur
ekonomi dalam suatu pentahapan terencana demi kemajuan negara-negara
berkembang. Rostow merumuskan
tahapan-tahapan pembangunan ekonomi di negara maju sebagaimana dalam bukunya: “The Stages of Economic
Growth: A Non-Communist Manifesto”.
Dalam penelitiannya Rostow mengemukakan 5 (lima) langkah perkembangan yang dijalani
negara-negara maju seperti Amerika, Perancis, Inggris dan Rusia.
Menurut
teori modernisasi bahwa penyebab ketertinggalan negara berkembang karena primitif
dan tidak modern, maka untuk mendorong pertumbuhan perlu investasi dari
negara-negara maju dalam mengelola sumber daya.
Kemudian International Monetary Fund (IMF) dan World Bank memberikan pinjaman
substansial kepada negara-negara berkembang, dengan syarat bahwa negara tersebut
mematuhi persyaratan sebagai bagian dari pengembangan perekonomian yang
berorientasi pasar (Killick, 1995, de Haan, 2009). Namun efek bantuan tidak optimal bahkan kondisi
negara berkembang semakin memburuk, menurut Frank (1971), barat telah sengaja membiarkan
negara-negara terbelakang dalam keadaan ketergantungan.
Pembangunan
ekonomi yang mengaplikasi teori modernisasi biasanya bersifat a-historis atau
mengabaikan sejarah. Hukum-hukumnya sering dianggap berlaku secara universal, diberlakukan
tanpa memperhatikan faktor waktu ataupun faktor tempat. Ada kecenderungan bahwa teori ini dapat
diberlakukan kapan saja dan dimana saja.
Konteks masyarakat dan perkembangan masyarakat tersebut sepanjang
sejarah kurang mendapat perhatian. Ada anggapan bahwa masyarakat bergerak
secara garis lurus, dari sesuatu yang irrasional menjadi rasional. Misalnya,
dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Gejala ini dianggap
sebagai suatu yang universal, yang berlaku di masyarakat manapun, pada segala
waktu. Masyarakat yang belum modern adalah masyarakat yang terbelakang, sesuai
dengan perkembangan dalam garis lurus tersebut. Pada saatnya masyarakat ini
akan menjadi modern seperti yang dialami oleh negara-negara Eropa.
Adapun
“Modernitas” juga menjadi salah satu tema yang terkait dengan westernisasi. Dalam
hal ini Eropa-Barat telah menawarkan ciri modernitas melalui pertumbuhan
pengembangan industri selama enam puluh tahun terakhir dengan ahli-ahli
pembangunan yang mumpuni dan profesional.
Mengulas tentang
modernitas pada akhirnya harus menarik benang merah terhadap apa yang disebut
modern dan apa yang disebut tradisional. Yang modern merupakan simbol dari
kemajuan, pemikiran yang rasional, cara kerja yang efisien, dan sebagainya.
Masyarakat modern dianggap sebagai ciri dari masyarakat di negara-negara
industri maju. Sebaliknya yang tradisional merupakan masyarakat yang belum
maju, ditandai oleh cara berpikir yang irrasional serta cara kerja yang tidak
effisien. Ini merupakan ciri masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha
pertanian di negara-negara miskin.
Namun
menurut Fritjof Capra bahwa saat ini manusia tengah mengalami titik balik
peradaban. Ini terlihat dari menurunnya
kemampuan modernitas dalam mencapai tujuan kemanusiaan. Satu gerak yang terbarengi
oleh dahaga spiritual dan kesadaran ekologis atas tata hidup kita yang menjadi
penyempurna kemanusiaan tersebut. Modernitas yang pada awalnya menjadi
alternatif tak mampu lagi mengangkat
kemanusiaan karena telah melenceng dari prinsip dasar kebudayaan. Telah terjadi
krisis multidimensional, yaitu dimensi-dimensi intelektual, moral, dan
spriritual yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan umat manusia.
Kini dimensi tersebut telah melahirkan berbagai fenomena sosial dan masyarakat
pada tingkat yang sangat memprihatinkan seperti kejahatan tindak kekerasan,
kecelakaan, bunuh diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, cacat mental,
penyakit kejiwaan dan sebagainya. Dampak krisis terhadap lingkungan berupa
pencemaran akibat limbah kimia dan nuklir sebagaimana terjadi di negara-negara
maju. Dengan demikian ‘kemodernan” yang diusung barat perlu filter yang ketat dalam
penerimaannya sebagai sebuah peradaban, karena efek negatif yang ditimbulkan
telah memberikan gambaran nyata yang mengerikan.
C.
Tema
Kewarganegaraan Aktif - Hak Asasi Manusia, Masyarakat Sipil dan Demokrasi dalam
Tesis Westernisasi
Membahas tema baru yang
terkait dengan tesis westernisasi yaitu kewarganegaraan aktif, HAM, masyarakat
sipil dan demokrasi. Ini menyangkut ide-ide tentang apa artinya menjadi warga
negara. Selain sebagai subjek pasif, manusia dikonseptualisasikan sebagai warga
negara yang aktif yang membentuk hak dan kewajiban mereka melalui partisipasi
dalam masyarakat (Turner, 1992, hlm 42-44, Kenny, 2004). Warga negara yang
aktif membutuhkan tempat untuk pengakuan hak asasi manusia dan untuk memelihara
demokrasi. Yaitu pada ruang masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah
(LSM). Masyarakat sipil saat ini cenderung untuk diidentifikasi sebagai ruang
atau bidang (kontras dengan lingkungan negara dan hubungan pasar) di mana orang
datang bersama-sama secara bebas dan mendiskusikan isu-isu secara terbuka dan
bekerja secara kolektif untuk mempengaruhi dan membentuk masyarakat mereka (Cohen
dan Arato, 1994). Sedangkan pemberdayaan masyarakat menawarkan cara
memfasilitasi hak asasi manusia 'dari bawah' (Ife, 2010a). Terkait dengan kegagalan program-program
pembangunan di Indonesia, kemudian pendekatan pembangunan yang bersifat
top-down dinilai perlu digeser ke pendekatan yang bersifat partisipatif. Di
Indonesia pada dekade 1990-an berkembang wacana civil society atau lebih
dikenal dengan istilah masyarakat madani. Culla (1999)
menyatakan masyarakat madani tanpa negara adalah anarkhis, dan negara tanpa
masyarakat madani adalah otoriter dan totaliter. Oleh karena itu, penting
mencari alternatif bagi Indonesia bagi upaya pembangunan ini, salah satu
pilihannya adalah pengembangan masyarakat (Community Development).
Tapi
apakah kewarganegaraan aktif, hak asasi manusia, masyarakat sipil dan demokrasi
merupakan konstruksi unik dari barat? Ada argumen bahwa pandangan yang
menyatakan ajaran otonomi individu, hak asasi manusia, masyarakat sipil dan
demokrasi tidak berlaku secara universal.
Lontaran pertanyaan tersebut merupakan kritik tentang argumen bahwa sebenarnya
intervensi Barat merupakan bagian dari agenda kolonialis. Hal
ini dikarenakan bahwa wacana yang membentuk kerangka ideologis untuk membentuk
kembali kebijakan luar negeri Barat dan intervensi invasif legitimasi,
menampilkan diri sebagai penjaga-moral dan berbicara untuk korban tertindas, dan
dalam proses menyangkal agen lokal dan pelemahan orang-orang.(Chandler, 2002,
hal. 35).
Memang
salah satu konsep dan indikator yang menjadi parameter bagi pertumbuhan dan
perkembangan kemanusiaan di berbagai negara adalah menghormati hak asasi
manusia dan nilai-nilai luhur kemanusiaan dengan seluruh dimensinya. Namun
tragisnya, pemerintah-pemerintah hegemonik Barat telah memanipulasi kebohongan
sebagai fakta dengan cara mengeksploitasi media dan mengarahkan opini publik
untuk kepentingan tertentu. Barat sendiri yang sering melakukan tindakan pelanggaran
hak asasi manusia – mendeklarasikan diri sebagai pembela hak-hak manusia di
dunia. Mereka bahkan mengizinkan dirinya untuk mengintervensi urusan
negara-negara penentang ekspansi Barat dengan alasan membela hak asasi manusia
serta menegakkan demokrasi dan kebebasan. Sejarahpun membuktikan bahwa
negara-negara Barat yang getol menyebut dirinya sebagai pengusung panji HAM
adalah para pelaku utama berbagai kejahatan kemanusiaan dan hak asasi manusia
di dunia. Mereka juga merupakan imperialis yang menjarah kekayaan negara-negara
dunia ketiga
Berbicara
mengenai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), satu
sisi LSM telah eksis dalam proses pendampingan masyarakat untuk mengakses
hak-hak dasarnya. LSM-pun mempunyai
peran penting dalam program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai perantara
antara donor internasional dengan program hibah dan program kebijakannya mampu
tersampaikan ke masyarakat. Namun ada
beberapa kekhawatiran tentang apa yang dapat digambarkan sebagai 'NGOization' dari
praktek pembangunan, di mana misalnya, LSM menjadi pialang kekuasaan dalam diri
mereka, sebagai pemain negosiasi antara badan penyangga dana dan masyarakat.
Beberapa LSM telah menjadi tempat di mana orang mencoba untuk mengambil kontak
Barat dan kebiasaan dalam rangka meningkatkan karir mereka sendiri daripada
sebuah tempat yang didedikasikan untuk pemberdayaan kolektif dan hak asasi manusia. (Fanany, Fanany dan Kenny,
2009).
Dalam
artikel-jurnal ini, penelitian yang dilakukan pada organisasi masyarakat di
Indonesia dan telah terjadi lebih dari sepuluh tahun, mereka (peneliti)-pun
telah mendengar sejumlah cerita tentang efek yang membahayakan disamping efek
yang berguna dari intervensi Barat pada umumnya.
D.
Studi
Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia
Penelitian yang ditulis dalam jurnal ini dilakukan
pada sebanyak dua puluh tujuh organisasi
akar rumput dan dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama (empat belas organisasi terletak di
Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Lombok) merupakan organisasi Muslim “moderat” yang berbasis iman. Mereka dianggap
moderat dalam arti bahwa mereka berkomitmen secara luas, plural dan tradisi
Islam toleran. Untuk Tujuan dari tulisan ini, apa yang penting
dalam kegiatan mereka adalah bahwa,
di luar identitas Muslim mereka, jenis
organisasi dapat peduli dengan hak asasi manusia dan isu-isu kesejahteraan, seperti yang berkaitan dengan jenis kelamin, kebebasan berbicara, produksi lokal dan lingkungan. Kategori
kedua adalah Koperasi Desa di Provinsi Sumatera
Barat, terutama berkaitan dengan
produksi produk lokal, termasuk beras, bawang produk
gula dan kerajinan.
Tak satu pun dari organisasi yang dipelajari dalam penelitian
ini secara eksklusif mengandalkan pada pendanaan internasional, atau bahkan bergantung pada pendanaan internasional untuk kelangsungan
hidup mereka. Dalam kaitan dengan organisasi Muslim, dana disediakan terutama melalui sumbangan Indonesia dan yayasan, khususnya
Wahid Institute, meskipun pendanaan untuk proyek-proyek tertentu kadang-kadang berasal dari lembaga internasional. Sedikit
sekali dana internasional pada koperasi
desa. Salah satu Koperasi
Produksi-gula memiliki hubungan dengan
LSM Jepang dan
menerima dukungan teknis dan
sejumlah uang dari Jepang (negara
agak ambigu Barat). Salah satu Koperasi-padi menerima dukungan sedikit
dana dari Uni Eropa untuk memproduksi brosur tentang kegiatannya.
Dalam
kasus koperasi desa, desa itu sendiri adalah orang-orang yang secara kolektif
mengontrol sumber daya lokal, menanggapi isu-isu umum dan membuat keputusan
tentang perkembangan masa depan, baik dalam arti sehari-hari dan dalam jangka panjang.
Dalam aspek ekonomi koperasi desa menekankan penentuan nasib sendiri, termasuk
kontrol kolektif sumber daya lokal dan keberlanjutan, dan pengertian HAM dalam
hal hak masyarakat untuk keamanan ekonomi dan untuk menentukan dan memenuhi
standar hidup mereka sendiri. Pada organisasi Muslim juga
dikontrol pada tingkat akar rumput dengan ide-ide pemberdayaan dan penentuan
nasib sendiri, disamping mereka juga memiliki
otonomi secara luas. Organisasi-organisasi Muslim tersebut juga menekankan
gagasan hak manusia dalam hal pentingnya memastikan kebebasan agama dan budaya berekspresi,
kebebasan berbicara dan tindakan dan kompetensi antarbudaya.
Dalam kedua kasus terebut di
atas cenderung pada pendekatan self-help
dalam perspektif CD sebagai metode dipahami bahwa dalam rangka mencapai tujuan
komunitas digunakan metode yang melibatkan peran masyarakat secara aktif. Self-Help Approach sebagai metode dapat
dipahami pula bahwa karena masyarakat dianggap sudah tahu akan kondisinya
berdasarkan pengalaman hidupnya maka masyarakat hanya perlu dijembatani untuk
mengaplikasikan pengalaman tersebut kedalam
perubahan yang diinginkan. Metode yang digunakan untuk
mencapai tujuan yang optimal diantaranya melalui: 1). Pendekatan partisipatoris, yang dimaksudkan dengan pendekatan
partispatoris dimana usaha memfasilitasi masyarakat untuk terlibat di dalam
proses belajar berdasarkan pengalaman dalam meningkatkan kemampuan dan
memperkuat kelembagaannya; 2). Pembelajaran,
diasumsikan masyarakat mengalami dan dapat mengambil pelajaran dari pengalaman
masa lalu untuk perubahan kearah yang lebih baik; 3). Penyadaran, masyarakat diharapkan mengalami perubahan kesadaran
melalui transformasi kesadaran sehingga masyarakat menjadi semakin kritis
terhadap permasalahan yang mucul. Individu dan masyarakat juga menyadari akan
kondisi dan potensi yang harus diubah untuk mencapai tujuan; 4). Pengorganisasian komunitas, ditujukan
untuk penguatan agregasi dan kolektivitas rumah tangga ataupun individu dalam
mewujudkan visi bersama; 5).Peningkatan
kemampuan organisasi diri, melalui revitalisasi aksi kolektif, organisasi
sosial, manajemen dan tata kelola organisasi yang baik menyesuaikan dengan
potensi sumberdaya dan aturan main dan faktor lingkungan; 6).Pengembangan jaringan, dengan
pengembangan jaringan (network building)
maka akan lebih membuka luas wawasan komunitas. Sehingga diharapkan terjadi
interkoneksitas komunitas dengan organisasi komunitas lain, dengan pemerintah,
swasta, LSM dan organisasi yang lain.
E. Pembaratan Organisasi?
Dalam penelitian yang dilakukan pada sebanyak
dua puluh tujuh organisasi akar rumput yang terbagi dalam dua kategori.
Kategori pertama
adalah organisasi Islam moderat (empat belas organisasi terletak di
Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Lombok) dan kategori kedua adalah Koperasi Desa di Provinsi Sumatera Barat, terutama
berkaitan dengan produksi produk lokal, ternyata tidak sepenuhnya organisasi mereka berkiblat
pada ide dan konsep Barat. Tapi mereka juga menunjukkan bahwa hak asasi manusia adalah
bagian dari nilai-nilai adat
sebagaimana tercantum dalam filsafat
Indonesia yang disebut Pancasila, terutama sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pancasila dianggap oleh Indonesia sebagai ekspresi dari nilai
yang paling penting dalam keberagaman
budaya lokal dalam Nusantara.
Dalam
organisasi Islam moderat, mereka juga menyatakan bahwa hak asasi manusia, sebagaimana tercermin
dalam organisasi mereka, mungkin
sebagian merupakan bukti tesis westernisasi,
namun mereka juga menunjukkan bahwa cara kerja mereka merupakan wujud konsistensi dengan ajaran-ajaran Islam.
Pada satu sisi kegiatan organisasi mereka berlangsung dalam bingkai Islam, sebaliknya, wacana hak asasi manusia di barat
umumnya berlangsung dalam kerangka sekuler. Maka perlunya kesiapan organisasi mereka
untuk terlibat dengan mereka yang sekuler, atau dukungan agama-agama lain. Juga
tidak berarti bahwa komitmen ke hak asasi manusia universal atau nilai moral
yang sama dari semua manusia tidak berlaku.
Apa yang nampak dalam praktik studi kasus organisasi muslim adalah bahwa
apa yang disebut ide dan proses Barat tidak dipaksakan pada para anggota
organisasi, karena tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam organisasinya.
Kelompok sepenuhnya sadar dari apa yang mereka terima dan fitur mereka dalam merangkul.
Mereka-pun mencampur dan mencocokkan apa yang mereka butuhkan dengan cara
pragmatis. Meski keinginan donor internasional
(barat) melalui donasinya memiliki misi untuk bagaimana arah dan kebijakan ala
barat dalam bentuk modernisasi pembangunan tetap ada, sebagaimana kemudian
nampak dalam praktik-praktik LSM di negara maju yang mengesankan adanya bukti
tesis westernisasi, namun mereka tidak seperti Barat. Maka upaya-upaya
pengembangan masyarakat sebaiknya beroperasi dalam konteks Indonesia dan
mensinergikan dengan kondisi maupun karakteristik serta adat istiadat
masyarakat setempat.
Penutup
Berdasarkan
ulasan artikel penelitian tentang tesis westernisasi pada pengembangan
masyarakat di Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa
pendekatan dan proses yang berlangsung pada aktivitas organisasi yang diteliti tidak
menerapkan gaya barat, sepenuhnya tidak dapat digeneralisasi untuk organisasi
serupa di seluruh Indonesia. Penerapan praktek-praktek pada kelompok-kelompok
organisasi di Indonesia sangat kompleks dan beragam. Bahkan mungkin ada juga organisasi
yang mengandalkan hampir sepenuhnya pada pendanaan internasional (barat), dengan
segala konsekuensinya untuk mengikuti aturan main negara donor (proses dan
pendekatan cara barat).
2. Tidak
dapat dipungkiri bahwa barat telah membawa banyak perubahan dalam segala aspek
kehidupan, namun kemudian bahwa tidak setiap apa yang dapat diterapkan di dunia
barat akan dapat pula diterapkan di Indonesia. Dalam konteks pengembangan
masyarakat-pun secara pragmatis beberapa praktek 'Barat' tidak cukup untuk
dapat diterapkan pada proyek pengembangan masyarakat di Indonesia. maka hendaknya pendekatan community development disinergikan dengan kondisi maupun nilai-nilai
tradisional dan norma lokal masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar