Rabu, 05 Februari 2014

COMMUNITY DEVELOPMENT



Pengantar
Dalam jurnal “Community Development in Indonesia : Westernization or Doing It Their Way?” dipaparkan tentang  tesis westernisasi, penggambaran hasil studi pada proyek pengembangan masyarakat di Indonesia, penyelidikan elemen-elemen yang mungkin dianggap sebagai suatu  bentuk  pembaratan dan dominasi pandangan dan kekuatan barat dalam perspektif  pengembangan masyarakat.
Bila mengacu pada tesis westernisasi, bahwa program pengembangan adalah perwujudan dari kekuatan hegemoni Barat.  Maka memunculkan respon ganda yang mana pada satu sisi mengasumsikan bahwa ‘westernisasi” adalah suatu wacana yang bermasalah, perlu diperiksa dan diselidiki, khususnya arti istilah kebarat-baratan, dan mengapa “westernisasi”.  Sedangkan respon lain adalah untuk mempertimbangkan argumen tentang westernisasi secara empirik.
Berikut ulasan dan tanggapan atas Tesis Westernisasi, Westernisasi sebagai Pembangunan Ekonomi dan Modernitas, Kewarganegaraan Aktif - Hak Asasi Manusia, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia, serta Pembaratan Organisasi.

A.     Tesis Westernisasi
Deskripsi 'Barat'  dan pengkarakterisasian “orang Barat' sangat berkaitan  dengan sejarah yang kompleks. Revolusi ilmiah, pemikiran sosial-ekonomi baru dan konfigurasi politik telah membawa perubahan besar dalam bagaimana orang “Barat” menjalani hidup mereka. Perluasan daerah koloni Eropa pada abad kesembilan belas, juga telah mengakarkan pandangan tentang dominasi barat  sebagai negara bangsa yang “beradab”, sedangkan negara bangsa di luar barat “kurang atau tidak beradab”. Kemudian pada paruh kedua abad kedua puluh, “Barat” mewacanakan dirinya sebagai  “dunia pertama” dari global Utara, sedangkan 'dunia ketiga'  dicirikan bagi negara-negara berkembang dari global Selatan yang merana, miskin dan terbelakang.  Melalui kekuatan politik “barat” telah mampu mengaburkan perbedaan signifikan antar negara. Misalnya, wujud perhatian dalam mendukung pembangunan bangsa dunia ketiga oleh negara dunia pertama. Mungkin ini juga merupakan bentuk pengkarakterisasian bahwa ”cara Barat” unggul dalam segala hal.
Tidak dipungkiri, realitasnya Barat memang tampil dalam percaturan dunia sebagai negara bangsa yang maju lebih dulu dan unggul dalam pembangunan sehingga mampu mendominasi dalam sistem ekonomi kapitalis berserta nilai-nilainya,  keyakinan, praktik dan bentuk organisasi sosial dan politik yang diidentifikasi dengan modernitas, perkembangan warga negara yang aktif, didasarkan pada hak asasi manusia, masyarakat sipil dan demokrasi.  Nilai-nilai dalam teori para ahli Barat inilah yang kemudian disodorkan kepada negara-negara berkembang untuk dijadikan kiblat dalam segala bidang.

B.    Westernisasi dalam Pembangunan Ekonomi dan Modernitas
Sebuah pandangan dalam kerangka evolusi bahwa masyarakat dapat dievaluasi berdasar pada tingkat pembangunan ekonominya. Pencirian masyarakat maju adalah mereka yang paling cepat dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonominya. Pada masyarakat ini berlaku sistem pasar yang kompetitif dan produktif dalam hal barang dan jasa, diukur berdasarkan produk nasional bruto.  Pada dimensi pembangunan ekonomi muncul tokoh Walt Rostow (1960) yang menuangkan ide, gagasan dan pikirannya kemudian diwacanakan dan dikontribusikan untuk perubahan struktur ekonomi dalam suatu pentahapan terencana demi kemajuan negara-negara berkembang.    Rostow merumuskan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi di negara maju sebagaimana dalam bukunya: “The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”.  Dalam penelitiannya Rostow mengemukakan 5  (lima) langkah perkembangan yang dijalani negara-negara maju seperti Amerika, Perancis, Inggris dan Rusia.
Menurut teori modernisasi bahwa penyebab ketertinggalan negara berkembang karena primitif dan tidak modern, maka untuk mendorong pertumbuhan perlu investasi dari negara-negara maju dalam mengelola sumber daya.  Kemudian International Monetary Fund (IMF) dan World Bank memberikan pinjaman substansial kepada negara-negara berkembang, dengan syarat bahwa negara tersebut mematuhi persyaratan sebagai bagian dari pengembangan perekonomian yang berorientasi pasar (Killick, 1995, de Haan, 2009).  Namun efek bantuan tidak optimal bahkan kondisi negara berkembang semakin memburuk, menurut Frank (1971), barat telah sengaja membiarkan negara-negara terbelakang dalam keadaan ketergantungan.
Pembangunan ekonomi yang mengaplikasi teori modernisasi biasanya bersifat a-historis atau mengabaikan sejarah. Hukum-hukumnya sering dianggap berlaku secara universal, diberlakukan tanpa memperhatikan faktor waktu ataupun faktor tempat.  Ada kecenderungan bahwa teori ini dapat diberlakukan kapan saja dan dimana saja.  Konteks masyarakat dan perkembangan masyarakat tersebut sepanjang sejarah kurang mendapat perhatian. Ada anggapan bahwa masyarakat bergerak secara garis lurus, dari sesuatu yang irrasional menjadi rasional. Misalnya, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Gejala ini dianggap sebagai suatu yang universal, yang berlaku di masyarakat manapun, pada segala waktu. Masyarakat yang belum modern adalah masyarakat yang terbelakang, sesuai dengan perkembangan dalam garis lurus tersebut. Pada saatnya masyarakat ini akan menjadi modern seperti yang dialami oleh negara-negara Eropa.
Adapun “Modernitas” juga menjadi salah satu tema yang terkait dengan westernisasi. Dalam hal ini Eropa-Barat telah menawarkan ciri modernitas melalui pertumbuhan pengembangan industri selama enam puluh tahun terakhir dengan ahli-ahli pembangunan yang mumpuni dan profesional. 
Mengulas tentang modernitas pada akhirnya harus menarik benang merah terhadap apa yang disebut modern dan apa yang disebut tradisional. Yang modern merupakan simbol dari kemajuan, pemikiran yang rasional, cara kerja yang efisien, dan sebagainya. Masyarakat modern dianggap sebagai ciri dari masyarakat di negara-negara industri maju. Sebaliknya yang tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai oleh cara berpikir yang irrasional serta cara kerja yang tidak effisien. Ini merupakan ciri masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha pertanian di negara-negara miskin.
Namun menurut Fritjof Capra bahwa saat ini manusia tengah mengalami titik balik peradaban.  Ini terlihat dari menurunnya kemampuan modernitas dalam mencapai tujuan kemanusiaan. Satu gerak yang terbarengi oleh dahaga spiritual dan kesadaran ekologis atas tata hidup kita yang menjadi penyempurna kemanusiaan tersebut. Modernitas yang pada awalnya menjadi alternatif  tak mampu lagi mengangkat kemanusiaan karena telah melenceng dari prinsip dasar kebudayaan. Telah terjadi krisis multidimensional, yaitu dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spriritual yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan umat manusia. Kini dimensi tersebut telah melahirkan berbagai fenomena sosial dan masyarakat pada tingkat yang sangat memprihatinkan seperti kejahatan tindak kekerasan, kecelakaan, bunuh diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, cacat mental, penyakit kejiwaan dan sebagainya. Dampak krisis terhadap lingkungan berupa pencemaran akibat limbah kimia dan nuklir sebagaimana terjadi di negara-negara maju. Dengan demikian ‘kemodernan” yang diusung barat perlu filter yang ketat dalam penerimaannya sebagai sebuah peradaban, karena efek negatif yang ditimbulkan telah memberikan gambaran nyata yang mengerikan.

C.    Tema Kewarganegaraan Aktif - Hak Asasi Manusia, Masyarakat Sipil dan Demokrasi dalam Tesis Westernisasi
Membahas tema baru yang terkait dengan tesis westernisasi yaitu kewarganegaraan aktif, HAM, masyarakat sipil dan demokrasi. Ini menyangkut ide-ide tentang apa artinya menjadi warga negara. Selain sebagai subjek pasif, manusia dikonseptualisasikan sebagai warga negara yang aktif yang membentuk hak dan kewajiban mereka melalui partisipasi dalam masyarakat (Turner, 1992, hlm 42-44, Kenny, 2004). Warga negara yang aktif membutuhkan tempat untuk pengakuan hak asasi manusia dan untuk memelihara demokrasi. Yaitu pada ruang masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (LSM). Masyarakat sipil saat ini cenderung untuk diidentifikasi sebagai ruang atau bidang (kontras dengan lingkungan negara dan hubungan pasar) di mana orang datang bersama-sama secara bebas dan mendiskusikan isu-isu secara terbuka dan bekerja secara kolektif untuk mempengaruhi dan membentuk masyarakat mereka (Cohen dan Arato, 1994). Sedangkan pemberdayaan masyarakat menawarkan cara memfasilitasi hak asasi manusia 'dari bawah' (Ife, 2010a).  Terkait dengan kegagalan program-program pembangunan di Indonesia, kemudian pendekatan pembangunan yang bersifat top-down dinilai perlu digeser ke pendekatan yang bersifat partisipatif. Di Indonesia pada dekade 1990-an berkembang wacana civil society atau lebih dikenal dengan istilah masyarakat madani. Culla (1999) menyatakan masyarakat madani tanpa negara adalah anarkhis, dan negara tanpa masyarakat madani adalah otoriter dan totaliter. Oleh karena itu, penting mencari alternatif bagi Indonesia bagi upaya pembangunan ini, salah satu pilihannya adalah pengembangan masyarakat (Community Development).
Tapi apakah kewarganegaraan aktif, hak asasi manusia, masyarakat sipil dan demokrasi merupakan konstruksi unik dari barat? Ada argumen bahwa pandangan yang menyatakan ajaran otonomi individu, hak asasi manusia, masyarakat sipil dan demokrasi tidak berlaku secara universal.  Lontaran pertanyaan tersebut merupakan kritik tentang argumen bahwa sebenarnya intervensi Barat merupakan bagian dari agenda kolonialis.  Hal ini dikarenakan bahwa wacana yang membentuk kerangka ideologis untuk membentuk kembali kebijakan luar negeri Barat dan intervensi invasif legitimasi, menampilkan diri sebagai penjaga-moral dan berbicara untuk korban tertindas, dan dalam proses menyangkal agen lokal dan pelemahan orang-orang.(Chandler, 2002, hal. 35).
Memang salah satu konsep dan indikator yang menjadi parameter bagi pertumbuhan dan perkembangan kemanusiaan di berbagai negara adalah menghormati hak asasi manusia dan nilai-nilai luhur kemanusiaan dengan seluruh dimensinya. Namun tragisnya, pemerintah-pemerintah hegemonik Barat telah memanipulasi kebohongan sebagai fakta dengan cara mengeksploitasi media dan mengarahkan opini publik untuk kepentingan tertentu. Barat sendiri yang sering melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia – mendeklarasikan diri sebagai pembela hak-hak manusia di dunia. Mereka bahkan mengizinkan dirinya untuk mengintervensi urusan negara-negara penentang ekspansi Barat dengan alasan membela hak asasi manusia serta menegakkan demokrasi dan kebebasan. Sejarahpun membuktikan bahwa negara-negara Barat yang getol menyebut dirinya sebagai pengusung panji HAM adalah para pelaku utama berbagai kejahatan kemanusiaan dan hak asasi manusia di dunia. Mereka juga merupakan imperialis yang menjarah kekayaan negara-negara dunia ketiga
Berbicara mengenai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), satu sisi LSM telah eksis dalam proses pendampingan masyarakat untuk mengakses hak-hak dasarnya.  LSM-pun mempunyai peran penting dalam program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai perantara antara donor internasional dengan program hibah dan program kebijakannya mampu tersampaikan ke masyarakat.  Namun ada beberapa kekhawatiran tentang apa yang dapat digambarkan sebagai 'NGOization' dari praktek pembangunan, di mana misalnya, LSM menjadi pialang kekuasaan dalam diri mereka, sebagai pemain negosiasi antara badan penyangga dana dan masyarakat. Beberapa LSM telah menjadi tempat di mana orang mencoba untuk mengambil kontak Barat dan kebiasaan dalam rangka meningkatkan karir mereka sendiri daripada sebuah tempat yang didedikasikan untuk pemberdayaan kolektif  dan hak asasi manusia. (Fanany, Fanany dan Kenny, 2009).
Dalam artikel-jurnal ini, penelitian yang dilakukan pada organisasi masyarakat di Indonesia dan telah terjadi lebih dari sepuluh tahun, mereka (peneliti)-pun telah mendengar sejumlah cerita tentang efek yang membahayakan disamping efek yang berguna dari intervensi Barat pada umumnya.
 
D.    Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia
Penelitian yang ditulis dalam jurnal ini dilakukan pada sebanyak dua puluh tujuh organisasi akar rumput dan dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama (empat belas organisasi terletak di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok) merupakan organisasi Muslim “moderat”  yang berbasis iman. Mereka dianggap moderat dalam arti bahwa mereka berkomitmen secara luas, plural dan tradisi Islam toleran. Untuk Tujuan dari tulisan ini, apa yang penting dalam kegiatan mereka adalah bahwa, di luar identitas Muslim mereka, jenis organisasi dapat peduli dengan hak asasi manusia dan isu-isu kesejahteraan, seperti yang berkaitan dengan jenis kelamin, kebebasan berbicara, produksi lokal dan lingkungan. Kategori kedua adalah Koperasi Desa di Provinsi Sumatera Barat, terutama berkaitan dengan produksi produk lokal, termasuk beras, bawang produk gula dan kerajinan.
Tak satu pun dari organisasi yang dipelajari dalam penelitian ini secara eksklusif mengandalkan pada pendanaan internasional, atau bahkan bergantung pada pendanaan internasional untuk kelangsungan hidup mereka. Dalam kaitan dengan organisasi Muslim, dana disediakan terutama melalui sumbangan Indonesia dan yayasan, khususnya Wahid Institute,  meskipun pendanaan untuk proyek-proyek tertentu kadang-kadang berasal dari lembaga internasional. Sedikit sekali dana internasional pada koperasi desa. Salah satu Koperasi Produksi-gula memiliki hubungan dengan LSM Jepang dan menerima dukungan teknis dan sejumlah uang dari Jepang (negara agak ambigu Barat).  Salah satu Koperasi-padi menerima dukungan sedikit dana dari Uni Eropa untuk memproduksi brosur tentang kegiatannya.
Dalam kasus koperasi desa, desa itu sendiri adalah orang-orang yang secara kolektif mengontrol sumber daya lokal, menanggapi isu-isu umum dan membuat keputusan tentang perkembangan masa depan, baik dalam arti sehari-hari dan dalam jangka panjang. Dalam aspek ekonomi koperasi desa menekankan penentuan nasib sendiri, termasuk kontrol kolektif sumber daya lokal dan keberlanjutan, dan pengertian HAM dalam hal hak masyarakat untuk keamanan ekonomi dan untuk menentukan dan memenuhi standar hidup mereka sendiri.  Pada organisasi Muslim juga dikontrol pada tingkat akar rumput dengan ide-ide pemberdayaan dan penentuan nasib sendiri, disamping  mereka juga memiliki otonomi secara luas. Organisasi-organisasi Muslim tersebut juga menekankan gagasan hak manusia dalam hal pentingnya memastikan kebebasan agama dan budaya berekspresi, kebebasan berbicara dan tindakan dan kompetensi antarbudaya.
Dalam kedua kasus terebut di atas cenderung pada pendekatan self-help dalam perspektif CD sebagai metode dipahami bahwa dalam rangka mencapai tujuan komunitas digunakan metode yang melibatkan peran masyarakat secara aktif. Self-Help Approach sebagai metode dapat dipahami pula bahwa karena masyarakat dianggap sudah tahu akan kondisinya berdasarkan pengalaman hidupnya maka masyarakat hanya perlu dijembatani untuk mengaplikasikan pengalaman tersebut kedalam  perubahan yang diinginkan.  Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan yang optimal diantaranya melalui: 1). Pendekatan partisipatoris, yang dimaksudkan dengan pendekatan partispatoris dimana usaha memfasilitasi masyarakat untuk terlibat di dalam proses belajar berdasarkan pengalaman dalam meningkatkan kemampuan dan memperkuat kelembagaannya; 2). Pembelajaran, diasumsikan masyarakat mengalami dan dapat mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu untuk perubahan kearah yang lebih baik; 3). Penyadaran, masyarakat diharapkan mengalami perubahan kesadaran melalui transformasi kesadaran sehingga masyarakat menjadi semakin kritis terhadap permasalahan yang mucul. Individu dan masyarakat juga menyadari akan kondisi dan potensi yang harus diubah untuk mencapai tujuan; 4). Pengorganisasian komunitas, ditujukan untuk penguatan agregasi dan kolektivitas rumah tangga ataupun individu dalam mewujudkan visi bersama; 5).Peningkatan kemampuan organisasi diri, melalui revitalisasi aksi kolektif, organisasi sosial, manajemen dan tata kelola organisasi yang baik menyesuaikan dengan potensi sumberdaya dan aturan main dan faktor lingkungan; 6).Pengembangan jaringan, dengan pengembangan jaringan (network building) maka akan lebih membuka luas wawasan komunitas. Sehingga diharapkan terjadi interkoneksitas komunitas dengan organisasi komunitas lain, dengan pemerintah, swasta, LSM dan organisasi yang lain.

E.     Pembaratan Organisasi?
Dalam penelitian yang dilakukan pada sebanyak dua puluh tujuh organisasi akar rumput yang terbagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah organisasi Islam moderat (empat belas organisasi terletak di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok) dan kategori kedua adalah Koperasi Desa di Provinsi Sumatera Barat, terutama berkaitan dengan produksi produk lokal, ternyata tidak sepenuhnya organisasi mereka berkiblat pada ide dan konsep Barat.  Tapi mereka juga menunjukkan bahwa hak asasi manusia adalah bagian dari nilai-nilai adat sebagaimana tercantum dalam filsafat Indonesia yang disebut Pancasila, terutama sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.  Pancasila dianggap oleh Indonesia sebagai ekspresi dari nilai yang paling penting dalam keberagaman budaya lokal dalam Nusantara.
Dalam organisasi Islam moderat, mereka juga menyatakan bahwa hak asasi manusia, sebagaimana tercermin dalam organisasi mereka, mungkin sebagian merupakan bukti tesis westernisasi, namun mereka juga menunjukkan bahwa cara kerja mereka merupakan wujud konsistensi dengan ajaran-ajaran Islam. Pada satu sisi kegiatan organisasi mereka berlangsung dalam bingkai Islam,  sebaliknya, wacana hak asasi manusia di barat umumnya berlangsung dalam kerangka sekuler. Maka perlunya kesiapan organisasi mereka untuk terlibat dengan mereka yang sekuler, atau dukungan agama-agama lain. Juga tidak berarti bahwa komitmen ke hak asasi manusia universal atau nilai moral yang sama dari semua manusia tidak berlaku.  Apa yang nampak dalam praktik studi kasus organisasi muslim adalah bahwa apa yang disebut ide dan proses Barat tidak dipaksakan pada para anggota organisasi, karena tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam organisasinya. Kelompok sepenuhnya sadar dari apa yang mereka terima dan fitur mereka dalam merangkul. Mereka-pun mencampur dan mencocokkan apa yang mereka butuhkan dengan cara pragmatis.  Meski keinginan donor internasional (barat) melalui donasinya memiliki misi untuk bagaimana arah dan kebijakan ala barat dalam bentuk modernisasi pembangunan tetap ada, sebagaimana kemudian nampak dalam praktik-praktik LSM di negara maju yang mengesankan adanya bukti tesis westernisasi, namun mereka tidak seperti Barat. Maka upaya-upaya pengembangan masyarakat sebaiknya beroperasi dalam konteks Indonesia dan mensinergikan dengan kondisi maupun karakteristik serta adat istiadat masyarakat setempat.

Penutup
Berdasarkan ulasan artikel penelitian tentang tesis westernisasi pada pengembangan masyarakat di Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Bahwa pendekatan dan proses yang berlangsung pada aktivitas organisasi yang diteliti tidak menerapkan gaya barat, sepenuhnya tidak dapat digeneralisasi untuk organisasi serupa di seluruh Indonesia.   Penerapan praktek-praktek pada kelompok-kelompok organisasi di Indonesia sangat kompleks dan beragam. Bahkan mungkin ada juga organisasi yang mengandalkan hampir sepenuhnya pada pendanaan internasional (barat), dengan segala konsekuensinya untuk mengikuti aturan main negara donor (proses dan pendekatan cara barat).
2.     Tidak dapat dipungkiri bahwa barat telah membawa banyak perubahan dalam segala aspek kehidupan, namun kemudian bahwa tidak setiap apa yang dapat diterapkan di dunia barat akan dapat pula diterapkan di Indonesia. Dalam konteks pengembangan masyarakat-pun secara pragmatis beberapa praktek 'Barat' tidak cukup untuk dapat diterapkan pada proyek pengembangan masyarakat di Indonesia.  maka hendaknya pendekatan community development  disinergikan dengan kondisi maupun nilai-nilai tradisional dan norma lokal masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar